Kamis, 01 Oktober 2009

ASAL USUL BANGSA INDONESIA

MENELUSURI ASAL-USUL BANGSA INDONESIA
Siapakah sesungguhnya Bangsa Indonesia? Ada banyak cara/versi untuk menerangkan jawaban atas pertanyaan tadi. Dari semua versi, keseluruhannnya berpendapat sama jika lelulur masyarakat Indonesia yang sekarang ini mendiami Nusantara adalah bangsa pendatang. Penelitian arkeologi dan ilmu genetika memberikan bukti kuat jika leluhur Bangsa Indonesia bermigrasi dari wilayah Asia ke wilayah Asia bagian Selatan. Masyarakat Indonesia mungkin banyak yang tidak menyadari apabila perbedaan warna kulit, suku, ataupun bahasa tidak menutupi fakta suatu bangsa yang memiliki rumpun sama, yaitu rumpun Austronesia. Jika melihat catatan penelitian dan kajian ilmiah tentang asal-usul suatu bangsa, apakah masyarakat Indonesia menyadari jika mereka berasal (keturunan) dari leluhur yang sama (satu rumpun)?
Topik dalam tulisan ini sebelumnya sudah sering dibahas di media cetak maupun elektronik, termasuk juga dituliskan oleh beberapa blogger. Sayang sekali di setiap penulisan tidak memberikan penegasan apapun kecuali hanya sekedar informasi umum. Pada prinsipnya, dengan menelusuri asal-usul suatu bangsa, setidaknya akan diketahui gambaran atas pemikiran, paham, ataupun anggapan tentang sikap suatu bangsa.
Menelusuri asal-usul suatu bangsa tidak sekedar membutuhkan bidang ilmu antropologi, akan tetapi sudah masuk ke dalam ranah ilmu genetika. Pada awalnya, penelurusuran hanya didasarkan pada bukti-bukti arkeologi dan pola penuturan bahasa. Temuan terbaru cukup mengejutkan karena merubah keseluruhan fakta di masa lalu jika selama ini leluhur Bangsa Indonesia bukan berasal dari Yunan.

Teori Awal Tentang Yunan
Teori awal tengan asal-usul Bangsa Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno sekaligus arkeolog dari Austria, yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau lebih dikenal von Heine Geldern (1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas kebudayaan megalitik di Asia Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik disimpulkan bahwa pada masa lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara bergelombang dari Asia sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini kemudian mendiami wilayah berupa pulau-pulau yang terbentang dari Madagaskar (Afrika) sampai dengan Pulau Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia Baru yang selanjutnya wilayah tersebut dinamakan wilayah berkebudayaan Austronesia. Teori mengenai kebudayaan Austronesia dan neolitikum inilah yang sangat populer di kalangan antropolog untuk menjelaskan misteri migrasi bangsa-bangsa di masa neolitikum (2000 SM hingga 200 SM).
Teori von Heine Geldern tentang kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran tentang rumpun kebudayaan Yunan (Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan hingga Australia. Salah satunya pula yang melandasi pemikiran apabila leluhur Bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Teori ini masih sangat lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Out of Yunan. Sayangnya, masih banyak pendidikan dasar di Indonesia yang masih mempertahankan prinsip ‘Out of Yunan’.

Teori Linguistik
Teori mengenai asal-usul Bangsa Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu linguistik. Dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa yang digunakan leluhur yang menetap di wilayah Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal dengan rumpun Taiwan. Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of Taiwan’. Teori ini dikemukakan oleh Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar teori moderen mengenai asal usul Bangsa Indonesia.
Pada prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik, asal-usul suatu bangsa dapat ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu linguistik mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Istilah Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa penutur. Bukti arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa Austronesia di Kepulauan Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Dari kepulauan Formosa ini kemudian bangsa Austronesia menyebar ke Filipina, Indonesia, Madagaskar (Afrika), hingga ke wilayah Pasifik. Sekalipun demikian, pendekatan ilmu linguistik masih belum mampu menjawab misteri perpindahan dari Cina menuju Kepulauan Formosa.

Pendekatan Teori Genetika
Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup mengejutkan karena dianggap memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina, termasuk di antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya, kecocokan pola genetika justru semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’ yang sebelumnya juga dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan ilmu linguistik.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan riset genetika, maka asal-usul Bangsa Indonesia bisa dipastikan bukan berasal dari Yunan, akan tetapi berasal dari bangsa Austronesia yang mendiami Kepulauan Formosa (Taiwan). Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr Sangkot Marzuki menyarankan untuk dilakukan perombakan pandangan yang tentang asal-usul Bangsa Indonesia. Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan tentang pola penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih dilakukan berbagai kajian mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui pendekatan linguistik tentang pendekatan ‘Out of Taiwan’.
Jalur Migrasi
Jalur migrasi berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’ bertentangan dengan pendekatan ‘Out of Yunan’. Pendekatan ‘Out of Yunan’ menerangkan migrasi Austronesia bermula dari Utara menuju semenanjung Melayu yang selanjutnya menyebar ke wilayah Timur Indonesia. Pendekatan ‘Out of Yunan’ dapat dilemahkan setelah ditelusuri berdasarkan pendekatan linguistik dan diperkuat pula oleh pembuktian genetika.
Berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’, migrasi leluhur dari Taiwan (Formosa) tiba terlebih dulu di Filipina bagian Utara sekitar 4500 hingga 3000 SM. Diduga migrasi dilakukan untuk memisahkan diri mencari wilayah baru di Selatan. Akibat dari migrasi ini kemudian membentuk budaya baru, termasuk diantaranya pembentukan cabang bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia (PMP). Teori migrasi awal bangsa Austronesia dari Formosa disampaikan oleh Daud A. Tanudirjo berdasarkan pandangan pakar linguistik Robert Blust yang menerangkan pola penyebaran bangsa-bangsa Austronesia.
Pada tahap selanjutnya sekitar 3500 hingga 2000 SM terjadi migrasi dari Masyarakat yang semula mendiami Filipina dengan tujuan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Migrasi yang berakhir di Maluku Utara ini kemudian meneruskan migrasinya sekitar tahun 3000 hingga 2000 SM menuju ke Selatan dan Timur. Migrasi di bagian Selatan menuju gugus Nusa Tenggara, sedangkan di bagian Timur menuju pantai Papua bagian Barat. Dari Papua Barat ini kemudian mereka bermigrasi lagi dengan tujuan wilayah Oseania hingga mencapai Kepulauan Bismarck (Melanesia) sekitar 1500 SM.
Pada periode 3000 hingga 2000 SM, migrasi juga dilakukan ke bagian Barat yang dilakukan oleh mereka yang sebelumnya menghuni Kalimantan dan Sulawesi menuju Jawa dan Sumatera. Selanjutnya, hijrah pun diteruskan menuju semenanjung Melayu hingga ke seluruh wilayah di Asia Tenggara. Proses migrasi berulang-ulang dan menghabiskan masa ribuan tahun tidak hanya membentuk keanekaragaman budaya baru, akan tetapi juga pola penuturan (bahasa) baru.

Penutup
Teori asal-usul Bangsa Indonesia dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ saat ini adalah teori paling mendukung karena disertai bukti linguistik dan genetika. Kesamaan pola budaya Megalitikum hanya bisa menjelaskan pola variasi budaya, akan tetapi belum mampu untuk menjelaskan arus migrasi pertama kali. Pendekatan ‘Out of Taiwan’ pun bukannya tanpa celah. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr Sangkot Marzuki, teori mengenai keberadaan bangsa Austronesia berdasarkan pendekatan genetika juga masih beragam dan belum menemukan titik temu.
Jika ditanya motif suku-suku bangsa ketika itu untuk menggabungkan diri ke dalam NKRI bukanlah semata didasarkan atas kesamaan nasib. Kesamaan asal usul leluhur sangat dimungkinkan bagi melatarbelakangi keinginan untuk menyatukan kembali menjadi suatu bangsa. Kedatangan kolonial Eropa yang meng-kapling wilayah menyebabkan suku-suku bangsa di wilayah penyebaran Austronesia menjadi terpisah secara politik satu dengan yang lain. Tidak mengherankan apabila catatan sejarah Majapahit dan Sriwijaya wilayah meng-klaim Nusantara sebagai wilayah kekuasaan Austronesia.
Kisah tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonesia sesungguhnya masih belum terungkap penuh. Temuan terbaru dari Prof. Dr Sangkot Marzuki bahkan menyatakan jika penyebaran bangsa dengan bahasa Austronesia berawal dari wilayah Sunda (Jawa Barat). Perlu kiranya pemikiran atau teori baru tentang asal-usul Bangsa Indonesia dikaji ulang. Untuk awal, setidaknya dengan membebaskan terlebih dahulu paham ‘Out of Yunan’.
Sekalipun belum ditemukan bukti-bukti genetika secara meyakinkan, suku bangsa Austronesia yang menempati gugus kepulauan Formosa (Taiwan) diduga kuat bermigrasi dari wilayah Utara (Cina). Rumpun bahasa Austronesia dan keluarga bahasa lainnya di Asia Tenggara merupakan filum Bahasa Austrik. Dilihat dari kekerabatan linguistik (hipotesis filum Austrik), semua bahasa di wilayah Tiongkok bagian Selatan memiliki kedekatan (kekerabatan) dengan rumpun Bahasa Austrik. Jika hendak ditarik benang merahnya, maka diskriminasi rasial tidak perlu terjadi di negeri ini. Dengan memahami sejarah masa lalu dirinya sendiri, setidaknya bangsa ini akan lebih bijaksana dalam memberikan sikap.

-----*****-----



























Blogger Templates by OurBlogTemplates.com 2008

Minggu, 20 September 2009

TheBestLink


Subscribe to updates


Rabu, 16 September 2009

SEJARAH UMROH

UMRAH PERPADUAN UMMAH
Firman Allah swt, “Dan kamu sempurnakanlah Haji dan Umrah kerana Allah” (Al-Baqarah : 196). Firman Allah swt, “Dan Allah mewajibkan ke atas manusia untuk mengerjakan Haji di Baitullah (Kaabah) bagi sesiapa yang mampu pergi ke sana” (Ali Imran : 97).
SEJARAH, TATA CARA UMRAH & HAJI TAMATTU DAN KUMPULAN DOA-DOANYA
Sumur Zam-zam dan Perintah Qurban
KITA harus memulai wacana tentang ibadah haji dari pribadi agung yang pertama kali mengajarkannya, yaitu Nabi Ibrahim a.s. (`alayhi s-salam, semoga kedamaian bagi beliau), nenek moyang bangsa Arab dan Ibrani, serta bapak dari tiga agama monoteis: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dengan asumsi bahwa sepertiga penduduk bumi sekarang adalah Kristiani, seperlimanya adalah Muslim, dan sepertigaratusnya adalah Yahudi, tokoh yang mengajarkan ibadah haji tersebut ternyata dihormati oleh lebih dari separoh penghuni planet ini, dengan sebutan yang bervariasi: Abrahem, Abraham, Ibrahim, dan mempunyai julukan sangat mesra: Sahabat Tuhan (Khalilu l-Lah; Khafer Elohim; Amigo Dei; Friend of God).
Dalam Kitab Alquran, nama Nabi Ibrahim a.s. disebutkan 69 kali yang tersebar dalam 25 Surat dan merupakan peringkat kedua terbanyak disebutkan sesudah Nabi Musa a.s. Berdasarkan informasi Alquran, ditambah dengan informasi dari Bereshith (Genesis), Kitab Taurat yang pertama, kita dapat menelusuri riwayat hidup Nabi Ibrahim a.s. Beliau lahir dan dibesarkan di negeri Ur, tanah Kaldea, daerah muara Sungai Efrat (Irak sekarang) sekitar empat ribu tahun yang silam. Meskipun hidup di lingkungan masyarakat Mesopotamia yang menyembah benda-benda langit, Ibrahim sejak muda remaja telah memiliki sifat hanif, yaitu cenderung kepada kebenaran adanya Satu Tuhan. Sebagaimana diterangkan dalam Alquran Surat Al-An`am 74-83, Ibrahim menolak penyembahan bintang, bulan dan matahari, serta mendambakan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan dalam bahasa Mesopotamia disebut El atau Il (nama negeri Babel atau Babil berarti Pintu Tuhan). Anak keturunan Ibrahim kelak, yaitu bangsa Ibrani dan bangsa Arab, memodifikasi nama ini dengan penambahan huruf Ha (Dia), masing-masing menjadi Eloh dan Ilah. Nama yang terakhir ini kemudian diberi kata sandang (artikel definit) Al-, menjadi Al-Ilah atau Allah. Akan tetapi El dan Il sebagai nama Tuhan masih dijumpai dalam bahasa Ibrani dan Arab pada nama-nama Gabriel (Jibril), Michael (Mika'il), Yishma`el (Isma`il), Yisra'el (Isra'il), dan sebagainya.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Mesopotamia memakai sistem bilangan dasar enam. Merekalah yang mewariskan kepada kita pembagian lingkaran menjadi 360 derajat, pembagian satu hari menjadi 24 jam, satu jam menjadi 60 menit, dan satu menit menjadi 60 detik. Sistem ini menjadikan bilangan tujuh sebagai sesuatu yang istimewa. Bilangan 60 habis dibagi 1, 2, 3, 4, 5 dan 6, tetapi tidak habis dibagi tujuh. Itulah sebabnya satu minggu harus tujuh hari, dan sesuatu yang maksimal harus dinyatakan dalam jumlah tujuh. Oleh karena Allah berkomunikasi melalui wahyu-Nya dalam bahasa Nabi yang bersangkutan, maka manasik (tatacara) haji yang disyari`atkan kepada Nabi Ibrahim a.s. banyak melibatkan bilangan tujuh, seperti tujuh putaran thawaf, tujuh bolak-balik sa`i, dan tujuh lontaran terhadap jumrah.
Sang pemuda Ibrahim yang baru menikah dengan gadis pujaannya, Sarah, mengikuti keluarganya pindah dari Ur, menelusuri Sungai Efrat ke daerah hulu di utara, lalu menetap di Haran yang sekarang terletak di wilayah Turki. Penduduk Haran merupakan penyembah berhala dan diperintah oleh seorang raja yang zalim. Kitab Alquran tidak menerangkan nama raja ini, tetapi sumber sejarah Ibrani atau kisah Isra'iliyat menyebutnya Raja Nimrod, yang kemudian disalin menjadi Namrud atau Namruz dalam bahasa Arab. Dalam Alquran Surat Al-Anbiya' 51-73 diterangkan bahwa Ibrahim mengobrak-abrik berhala-berhala sehingga sang raja murka dan membakar Ibrahim hidup-hidup. Akan tetapi Allah menyelamatkan Ibrahim dengan menjadikan api itu dingin. Kemudian datang perintah Allah agar Ibrahim meninggalkan negerinya.
'Lekh leka!' (Pergilah engkau!), demikian perintah Allah yang tercantum dalam Kitab Bereshith (Genesis) 12 : 1, 'dari negerimu, keluargamu dan rumah bapakmu, ke tanah yang akan Kutunjukkan padamu'. Kitab Alquran Surat Ash-Shaffat 99 merekam pernyataan Ibrahim : Inni dzahibun ila rabbi, sa yahdin (Sesungguhnya aku pergi kepada Tuhanku, kelak Dia menunjuki daku). Tanah yang dijanjikan Allah itu bernama Kana'an, bahasa Aram yang berarti ungu, sebab penduduknya terkenal memproduksi zat warna ungu (purple dyes). Dalam bahasa Yunani kata untuk ungu adalah phonix, sehingga mereka menyebut daerah itu Phoenicia. Bangsa Ibrani kelak menamainya Pelishtim, dan sejarawan Herodotus abad kelima SM mempopulerkannya sebagai Palaistine (Palestina).
Perintah Allah kepada Ibrahim itu disertai tujuh janji, sebagaimana tercantum dalam Kitab Bereshith 12 : 2-3, yaitu: (1) Aku akan menjadikan engkau bangsa yang besar; (2) Aku akan memberkati engkau; (3) Aku akan membuat namamu masyhur; (4) Engkau akan menjadi suatu berkat; (5) Aku akan memberkati mereka yang memberkati engkau; (6) Aku akan mengutuk mereka yang mengutuk engkau; dan (7) Seluruh kaum di muka bumi melalui engkau akan diberkati.
Kenyataan menunjukkan bahwa dari tiga komunitas agama (Yahudi, Nasrani, Islam) yang mengaku sebagai 'anak-anak Ibrahim', hanya umat Islam yang setiap hari menyebut nama Ibrahim dengan penuh khidmat. Pada bagian akhir shalat mereka, dengan khusyuk umat Islam membisikkan kama barakta `ala ibrahim (sebagaimana Engkau telah menganugerahkan berkat kepada Ibrahim).
Ibrahim dalam usia yang makin lanjut belum juga memperoleh keturunan. Beliau tiada henti-hentinya berdoa kepada Allah: Rabbi habli mina sh-shalihin (Ya Tuhanku, karuniai daku anak yang saleh), sebagaimana tercantum dalam Ash-Shaffat 100. Kitab Bereshith 16 : 3 mengungkapkan: ”Dan Sarah istri Ibrahim mengambil Hajar orang Mesir pembantunya, setelah Ibrahim menetap sepuluh tahun di tanah Kana'an, dan dia memberikannya kepada Ibrahim suaminya sebagai istri”. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa Hajar adalah pembantu Sarah (naskah Ibraninya shifhah = pembantu, maid), dan sama sekali bukanlah 'budak' atau 'hamba' (amah dalam bahasa Ibrani). Juga perlu ditegaskan bahwa Hajar bukanlah 'gundik' Ibrahim, melainkan istri yang sah. Kata pada akhir ayat Bereshith 16 : 3 yang digunakan untuk Hajar dalam naskah Ibrani berbunyi ishah (istri, wife) yang juga digunakan pada awal ayat untuk Sarah.
Fa basysyarnahu bi ghulamin halim (Maka Kami gembirakan dia dengan seorang anak yang cerdas), demikian firman Allah dalam Ash-Shaffat 101. Hajar melahirkan seorang putra, yang diberi nama oleh ayahnya Yishma`el (dalam bahasa Ibrani) atau Isma`il (dalam bahasa Arab), yang berarti 'Tuhan mendengar', yaitu mendengar doa Ibrahim untuk memperoleh keturunan. Bereshith 16 : 16 menambahkan informasi 'Dan Ibrahim berusia 86 tahun ketika Hajar melahirkan Isma`il baginya.'
Setelah Isma`il lahir, turunlah perintah Allah tentang kewajiban bersunat (khitan). Dalam Bereshith 17 : 10 tertulis 'Inilah perjanjian-Ku yang harus engkau pegang, antara Aku dengan engkau dan benihmu sesudah engkau, yaitu setiap laki-laki di antaramu haruslah disunat.” Bagi yang ingkar kepada kewajiban ini, Bereshith 17 : 14 menegaskan ”Dan laki-laki yang tidak disunat kulit khatannya, maka orang itu harus dikeluarkan dari kelompoknya. Dia telah mengingkari perjanjian-Ku.' Sekali lagi kenyataan menunjukkan bahwa umat Islam paling konsisten dalam melaksanakan kewajiban bersunat atau khitan ini. Jadi, mereka yang tidak disunat sudah tentu sangat tidak pantas untuk disebut atau mengaku sebagai 'anak-anak Ibrahim'.
Tentang Isma`il, Aku mendengarkanmu, demikian firman Allah kepada Ibrahim dalam Bereshith 17 : 20. Dalam naskah Ibrani kalimatnya cuma dua kata: uleyishma`el shema`tika, dan sangat menarik bahwa kedua kata ini memiliki tiga huruf dasar yang sama yaitu shin, mem,`ayin. 'Aku akan memberkati dia dan membuatnya berketurunan sangat banyak. Dua belas pemimpin (melek) akan diperanakkannya, dan Aku akan menjadikannya bangsa yang besar.'
Ternyata Allah mempunyai Rencana Besar untuk Ibrahim dan Isma`il. Allah memerintahkan Ibrahim untuk membawa Hajar dan anak mereka yang masih kecil meninggalkan Kana'an ke arah selatan, menuju sebuah lembah yang bernama Baka atau Bakkah. Oleh karena mim dan ba sama-sama huruf bilabial (bibir), nama Bakkah lama-kelamaan berubah menjadi Makkah. Dalam bahasa Arab dan Ibrani, kata baka mempunyai dua arti: 'berderai air mata' dan 'pohon balsam'. Arti yang pertama berhubungan dengan gersangnya daerah itu sehingga seolah-olah tidak memberikan harapan, dan arti yang kedua berhubungan dengan banyaknya pohon balsam (genus Commiphora) yang tumbuh di sana.
Apakah keistimewaan lembah Bakkah itu? Allah menjelaskannya dalam Surat Alu Imran 96: Inna awwala baitin wudhi`a li n-nasi la l-ladzi bi bakkata mubarakan wa hudan li l-`alamin (Sesungguhnya Rumah Allah Pertama yang didirikan untuk manusia benar-benar terletak di Bakkah yang diberkati dan petunjuk bagi seluruh alam). Ternyata lembah Bakkah itu merupakan lokasi Rumah Allah (Baitu l-Lah dalam bahasa Arab, Beth Elohim dalam bahasa Ibrani) yang didirikan oleh generasi pertama umat manusia dari zaman Nabi Adam a.s. Pada masa Nabi Ibrahim a.s. lembah itu sudah ditelantarkan, tiada manusia yang menghuni, dan Rumah Allah yang pertama itu hanya tinggal fondasinya saja. Ada cerita yang mengatakan bahwa Rumah Allah itu hancur oleh banjir pada zaman Nabi Nuh a.s. Bagaimana kejadian yang sebenarnya, hanya Allah yang tahu.
Kisah Hajar dan Isma`il dikumpulkan dan ditulis oleh sejarawan Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (wafat 310 Hijri atau 922 Masehi) dalam bukunya yang termasyhur, "Tarikh ar-Rusul wa l-Muluk" (Sejarah Para Rasul dan Para Penguasa), Jilid 1, hh. 275-283: 'Ketika mendapat perintah dari Allah untuk menuju Rumah-Nya, Ibrahim pergi bersama Hajar dan Isma`il disertai malaikat Jibril. Mereka sampai di Makkah yang cuma ditumbuhi pohon akasia, mimosa, balsam dan semak berduri. Rumah Allah saat itu tinggal dasarnya berupa lempung merah. Jibril berkata, Allah memerintahkan engkau untuk meninggalkan mereka. Ibrahim membawa Hajar dan Isma`il ke Hijir (di samping Ka`bah sekarang) dan membuat tenda di sana. Lalu Ibrahim berdoa: 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku menempatkan keturunanku di lembah yang tiada tumbuhan berbuah, di samping Rumah-Mu Yang Suci, agar mereka tetap menegakkan salat. Maka jadikanlah hati manusia berpaling kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur' (Surat Ibrahim 37). Ketika Ibrahim akan pergi, Hajar bertanya, 'Apakah perintah Allah yang membuatmu meninggalkan kami?' Ibrahim menjawab, 'Ya.' Maka Hajar berkata, ”Jika demikian tentu Allah tidak meninggalkan kami untuk binasa.' Maka Ibrahim kembali ke Kana'an, meninggalkan mereka berdua di Rumah Allah.”
Masih kutipan dari Thabari: 'Isma`il menangis karena sangat kehausan. Hajar memasang telinga untuk mendengar suara yang mungkin membantunya memperoleh air. Dia mendengar suara di bukit Safa, lalu pergi ke sana tetapi tidak menemukan apapun. Lalu dia mendengar suara di bukit Marwah. Dia pergi ke sana, juga tidak menemukan apapun. Hajar kembali ke Safa, lalu balik lagi ke Marwah, dengan tidak merasa letih supaya anaknya dapat minum.'
Bereshith 21 : 17-19 melengkapi kisah ini: 'Dan Allah mendengar suara anak itu, dan malaikat Allah memanggil dari langit dan berkata kepadanya, 'Apakah yang engkau susahkan, Hajar? Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat dia berbaring. Bangunlah, angkatlah anak itu dan bimbinglah dia, sebab Aku akan menjadikannya bangsa yang besar.' Dan Allah membuka mata Hajar dan dia melihat sebuah mata air. Dia pergi mengisi kirbat kulitnya dengan air, lalu memberi anak itu minum.
Kembali kepada uraian Thabari: 'Ketika Hajar sampai di Marwah setelah tujuh kali bolak-balik, tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari lembah tempat dia meninggalkan Isma`il. Dia berlari menuju anaknya, dan mendapati mata air memancar dekat tempat dia berbaring. Hajar mengisikan air ke kirbat kulitnya sambil berseru, 'Zummi, zummi'. Ada yang mengatakan bahwa itu bahasa Mesir yang berarti 'Berkumpul, berkumpul.' Mungkin juga itu hanya ucapan Hajar menirukan bunyi air yang memancar. Hanya Allah yang Maha Tahu, tetapi dari ucapan Hajar itulah asal nama telaga Zamzam.'
Adanya sumber air berupa telaga Zamzam membuat tempat itu layak dihuni. Maka datanglah rombongan suku Jurhum yang pemimpinnya bernama Mudad, memohon izin kepada Hajar dan Isma`il untuk menetap di sana.
Pada waktu-waktu tertentu, secara rutin Ibrahim dari Kana'an datang mengunjungi istri dan anak beliau di lembah Makkah yang lambat laun tumbuh menjadi suatu pemukiman.
Ketika Isma`il berusia 13 tahun datanglah ujian dahsyat yang tiada tara. Allah memerintahkan Ibrahim agar berqurban menyembelih putranya yang satu-satunya itu! Sungguh suatu ujian yang sangat berat bagi seorang ayah, namun karena itu perintah Allah maka Ibrahim menyanggupinya tanpa keraguan. Ketika perintah Allah itu disampaikan Ibrahim kepada sang anak, dan ketika Isma`il ditanyai pendapatnya oleh sang ayah, maka Isma`il yang masih berusia remaja itu menjawab: Ya abati, if`al ma tu'mar. Sa tajiduni insya'a l-Lahu mina sh-shabirin ('Wahai ayahanda, laksanakan apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah ayah akan mendapatiku sebagai anak yang sabar'), sebagaimana tercantum dalam Surat Ash-Shaffat 102.
Ibrahim membawa Isma`il ke suatu bukit di sebelah timur Makkah, tempat yang sekarang bernama Mina. Tiga kali Iblis menggoda Ibrahim untuk membatalkan rencananya, tiga kali pula Ibrahim menolak godaan Iblis dengan lontaran kerikil. Tindakan Ibrahim ini kelak diabadikan dalam salah satu manasik (tatacara) haji, yaitu melontar tiga jumrah di Mina. Setelah Isma`il direbahkan pada batu landasan penyembelihan, dan pedang Ibrahim telah siap hendak menyentuh leher putranya, maka Allah berfirman agar Ibrahim mengganti sembelihannya dengan seekor domba. Firman Allah dalam Ash-Shaffat 106-107: Inna hadza lahuwa l-bala'u l-mubin. Wa fadaynahu bi dzibhin `azhim ('Sesungguhnya ini benar-benar hanya ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor domba yang besar').
Ibrahim tidak kehilangan putra, bahkan putranya bertambah satu lagi, sebab setelah peristiwa ujian qurban itu Allah memberikan kabar gembira bahwa istri pertamanya, Sarah, akan memberinya putra yang bernama Ishaq (dalam bahasa Arab) atau Yitshaq (dalam bahasa Ibrani), sebagaimana diterangkan dalam Ash-Shaffat 112: Wa basysyarnahu bi ishaq, nabiyyan mina sh-shalihin ('Dan Kami gembirakan dia dengan Ishaq, seorang nabi yang saleh'). Ishaq kelak menurunkan bangsa Ibrani, sedangkan Isma`il kelak menurunkan bangsa Arab, terutama suku Quraisy di Makkah.
Sekarang marilah kita tinjau informasi Bereshith mengenai peristiwa qurban tersebut. Dalam Bereshith 22 : 2 perintah Allah kepada Ibrahim berbunyi: 'Ambillah anakmu yang satu-satunya, yang engkau kasihi, Ishaq(?), dan pergilah ke tanah Moriah dan kurbankan dia sebagai kurban bakaran pada salah satu gunung yang akan Aku firmankan kepadamu.'
Ketika naskah Taurat dibakukan, para ulama Yahudi mengganti nama Yishma`el (Isma`il) pada Bereshith 22 dengan Yitshaq (Ishaq). Tetapi akal bulus Yahudi ini kelihatan sekali belangnya. Bereshith 22 : 2 jelas menyebutkan 'anakmu yang satu-satunya'. Naskah Ibraninya berbunyi yahid, artinya 'satu-satunya'. Hal ini berarti bahwa ujian Allah kepada Ibrahim terjadi sebelum Ishaq lahir, ketika Ibrahim baru mempunyai seorang putra, yaitu Isma`il. Kitab Taurat sendiri jelas menyebutkan bahwa Isma`il lahir ketika Ibrahim berusia 86 tahun (Bereshith 16 : 16), sedangkan Ishaq lahir ketika Ibrahim berusia 100 tahun (Bereshith 21 : 5).
Dalam Al-Baqarah 75 dinyatakan bahwa kaum Yahudi 'mendengar firman Allah lalu mengubahnya setelah memahaminya padahal mereka mengetahui' (yasma`una kalama l-Lahi tsumma yuharrifunahu min ba`di ma aqaluhu wa hum ya`lamun). Skandal pengubahan nama Isma`il menjadi Ishaq dalam peristiwa qurban itu disebabkan umat Yahudi tidak rela keturunan Isma`il berperan dalam pelaksanaan janji Allah pada Bereshith 22 : 18 'Dan semua bangsa di muka bumi akan diberkati melalui benihmu, karena engkau telah mendengarkan firman-Ku'.
Janji Allah tersebut dipertegas dalam Al-Baqarah 124: 'Dan ketika Tuhannya menguji Ibrahim dengan perintah-perintah tertentu, maka Ibrahim memenuhi semuanya. Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau imam (pemimpin) bagi manusia.' Ibrahim bertanya, 'Juga keturunanku?' Allah berfirman, 'Perjanjian-Ku tidak mencakup mereka yang zalim'.