Rabu, 10 Februari 2010

KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA MASA REFORMASI

KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA MASA REFORMASI
By : Nandang Kosasih

A. LATAR BELAKANG REFORMASI DI INDONESIA
Reformasi di Indonesia tahun 1998 adalah suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kearah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hokum, social, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan orinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraa.
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hokum, dan krisis sosial merupakan faktor-faktor pendorong timbulnya gerakan reformasi. Bahkan krisis kepercayaan telah menjadi suatu indicator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak dapat ditawar lagi, oleh karena itu seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi rakyat menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indonesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
Persoalan pokok yang mendorong atau menyebab lahirnya gerakan reformasi adalah kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-harga sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goring, minyak tanah, gula, susu, telur, ikan kering, dfan garam, mengalami kenaikan yang tinggi.
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu tujuan lahirnya gerakan reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuan dalam melaksanakan cita - cita Orde Baru. Pada awal
kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahanan Orde Baru banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Bahkan Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi.

a. Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemereintah Orde Baru selalu didasarkan pada alasan pelaksanaan demikrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah merupakan upaya memepertahankan kekuasaan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya.. Artinya demokrasi yang dijalankan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demopkrasi rekayasa. Bukan lagi demokrasi dal;am pengertian dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi dari, oleh, dan untuk penguasa.
Pada masa Orde Baru kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang dianggap kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif adalah :
1) Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
2) Pelaksanaan Lima Paket UU Politgik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa. Lima paket UU tersebut adalah UU No tahun 1985 tentang Pemilihan Umum, UU No.3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, UU No.2 tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan anggota MPR-DPR-DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.5 tahun 1995, UU No.8 tahun 1985 tentang Organisasi masyarakat, dan UU No.2 thaun i985 tentang Referendum.
3) Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajelal dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengtrolnya.
4) Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga Negara (sipil untuk ikut berpartisifasi dalam pemerintahan.
5) Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Soeharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.

b. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik saja, dalam bidang hukumpun pemerintah melakukan intervensi. Artinya kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa, dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan.
Hukum sering dijadikan alat pembenaran tindakan penguasa. Kenyataan tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)”.

c. Krisis Moneter
Krisis moneter yang melanda Negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonersia. Di tengah - tengah terjadinya kekisruhan kehidupan berbangsa dan bernegara, pada bulan Juli 1997 Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter. Nilai rupiah terhadap uang asing, terutama dolar Amerika, menurun secara drastis. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah dari Rp.2,575.00 menjadi Rp.2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Am,Erika Serikat turun menjadi Rp. 5,000.00 per dollar. Dan pada bullan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah yaitu Rp. 16,000.oo per dollar.
Ketika nilai rupiah semakin melemah, timbul krisis di bidang perbankan. Kebijakan deregulasi yang dilakukan sejak bulan Oktober 1988 telah memacu pertumbuhan bank yang luar biasa. Namun kebijakan deregulasi ini telah menimbulkan bisnis perbankan yang tidak efesien. Akibatnya pemerintah melikuidasi 16 bank yang bermasalah pada akhir tahun 1977.
Untuk menyehatkan perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya. Dan pemerintah mengeluarkan Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) untuk menyehatkan bank-bank yang berada dibawah pembinaan BPPN. Namun di dalam pelaksanaan KLBI terjadi praktek manipulasi besar-besaran. Pinjaman bank-bank bermasalah yang tidak dapat dikembalikan semakin besar, sehingga pemerintah harus menanggung beban keuangan yang semakin besar.
Dalam pada itu kepercayaan Internasional terhadap Indonesia menurun. Hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan Negara dan swasta banyak yang tidak mampu membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo.
Kebijakan uang ketat dan suku bunga bank yang tinggi pada awal tahun 1998, tetap tidak mampu mengatasi krisis moneter tersebut. Pemerintah akhirnya melakukan pembekuan kembali tujuh bank pada bulan April 1998. Nilai rupiah terus melemah menembus angka Rp. 10.000,00 per dollar Amerika Serikat. Pada saat krisis itu, tidakan para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun luar negeri semakin memperburuk kondisi ekonomi nasional. Krisis moneter tidak sekedar hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, melainkan mengakibatkan hancurnya system keuangan nasional.

d. Krisis Ekonomi
Penurunan nilai tukar rupiah ini telah menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang ditandai dengan lesunya perekonomian, dan juga menyebabkan kerusakan pada institusi-institusi ekonomi penting. Memasuki tahun anggaran 1998/1999 , krisis moneter berimbas juga pada aktivitas ekonomi yang lain. Perusahaan Negara maupun swasta banyak yang tidak mampu membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Dan banyak perusahaan yang bangkrut, sehingga angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat. Akibatnya angka pengangguran semakin tinggi dan secara langsung berpengaruh terhadap penurunan kemampuan daya beli serta kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Ketimpangan kemam[uan msyarakat yang telah terjadi sebelumnya menjadi semakin kritis sejak terjadinya krisis ekonomi ini.
Pada akhir tahun 1997 persediaan barang-barang khusus sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis di pasaran. Harga barang-barang naik tida terkendali, yang berarti biaya hidup juga semakin tinggi. Pada awal tahun 1898 terjadi aksi memborong barang-barang oleh kelompok tertentu di berbagai kota di Indonesia. Dan di berbagai tempat terjadi kelaparan dan
kekurangan pangan seperti di Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, bahkan di beberapa tempatr di pulau Jawa.
Sementara itu pinjaman luar negeri yang telah disepakati dengan Internasional Moneter Fund ( IMF) belum terealisasi meskipun pada bulan Januari 1998 Indonesia sudah menandatangani 50 butir kesepakatan dengan lembaga keuangan Internasional tersebut. Selain itu semakin banyak ditemukan bukti-bukti tentang praktek monopoli, nepotisme, korupsi, dan manipulasi yang dilakukan para penguasa beserta kroninya dalam kehidupan ekonomi nasional.

e. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik represif yang dijalankan pemerintahan Orde Baru dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama.
Ketimpangan perekonomian yang terjadi di Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap timbulnya krisis sosial. Pengangguran, keterbatasan sembako, tingginya harga-harga sembako. Rendahnya daya beli masyarakat, merupakan factor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sertra krisis ekonomi yang terjadi, mendorong munculnya prilaku negatif dalam masyarakat. Misalnya perkelahian antar pelajar, budaya menghujat, narkoba, kerusuhan masyarakat di Kalimantan Barat, pembantaian dengan isu dukun santet di Banyuwangi dan Boyolali, serta kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan Solo pada tanggal 13-14 Mei 1998. Akibat kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan Solo, perekonomian di kedua kota tersebut mengalami kelumpuhan untuk beberapa waktu karena banyak swalayan, pertokoan, dan pabrik rusak dibakar dan dijarah massa. Hal tersebut menyebabkan membengkaknya angka pengangguran.
Peristiwa-peristiwa tersebut mengakibatkan beban masyarakat semakin berat. Ketidakpastian kapan krisis akan berakhir telah menyebabkan masyarakat frustasi. Kondisi ini sangat membahayakan karena dapat memberikan ruang bagi pihak yang ingin mengacau untuk mengadudomba masyarakat, dan menyulut massa untuk melakukan tindakan anarkis.

f. Krisis kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonersia telah mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Kegagalan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakan hukum, dan system peradilan, serta pelaksanaan pembangunan yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Sikap pemerintah yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, dan merebaknya KKN, telah menyebabkan timbulnya ketidak percayaan masyarakat terhadap para penguasa. Gejala ini tampak sejak pemilihan umum tahun 1992 di mana perolehan suara Golkar berkurang secara drastis. Dan sejak tahun 1996 ketidakpercayaan masyarakat terhadap Orde Baru semakin terbuka. Muncullah tokoh seperti Amien Rais yang vocal dan berani mengkritik pemerintah secara terbuka dan gerakan mahasiswa, semakin memperbesar keberanian masyarakat untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru.

Krisis multidimensional yang terjadi sebenarnya tidak terjadi begitu saja, melainkan sebagai akibat dari berbagai kondisi yang tumbuh di Indonesia waktu itu, seperti :

1) Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun hutang itu bukan sepenuhnya hutang Negara, tapi juga hutang swasta.
2) Kebijakan Industrialisasi. Pemerintahan Orde Baru ingin menjadikan Negara RI sebagai Negara industri, dan keinginan itu tidak sesuai dengan kodisi nyata masyarakat Indonesia yang agrarais dan tingkat pendidikannya masih rendah.
3) Pemerintahan yang Sentralistik. Pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnya, sehingga semua kebijakan ditentukan oleh Pemerintah pusat di Jakrta. Oleh karena itu peranan pemerintah pusat sangat menentukan, dan pemerintah daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.

B. TUNTUTAN REFORMASI
1. Keadaan menjelang Reformasi
Setahun sebelum pemilihan umum yang direncanakan pada bulan Mei 1997, keadaan politik Indonesia mulai memanas.Pemerintahan yang didukung Golkar, berusaha mempetahankan kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima kali pemilihan umum sebelumnya. Di lain pihak, tekanann terhadap pemerintahan Orde Baru di dalam masyarakat semakin berkembang.
Tuntutan masyarakat akan adanya perubahan kebijakan politik, ekonomi, dan hukum, semakin sering dikemukakan. Keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dianggap tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik sebagian masyarakat.Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional, dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang besar, monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, serta tidak mampu menghilangkan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat. Kehidupan masyarakat dan pemerintahan dianggap masih dipenuhi oleh pelanggaran hukum dan hak asasi manusia oleh penguasa.
Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa pemerintah telah menekan pihak oposisi. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan yang keras terhadap setiap orang atau kelompok yang melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru. Seseorang dengan mudah dituduh sebagai anti pemerintah atau menghina kepala negar, hanya karena mengkritik sebuah kebijakan tertentu. Keseragaman berpikir dan bertindak menjadi sebuah prinsip dasar yang harus diterima semua pihak.
Pemerintah juga melarang mendirikan partai politik lain kecuali ketiga partai politik yang sudah ada. Hal ini berkaitan dengan diberlakukannyua lima paket UU politik, yaitu :

- Undang-Undang No.1 Tahun 1985 Tentang Pemilihan Umum
- Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan anggota MPR, DPR, dan DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.5 Tahun 1995
- Undang-Undang No.3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya
- Undang-Undang No.8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
- Undang-Undang No. 2 Tahun 1985 Tentang Referendum

Krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, telah menyebabkan ketidakpercayaan mayarakat terhadap pemerintah Presiden Suharto semakin kuat, terutama di kalangan masyarakat kampus. Pada bulan Maret Tahun 1998 mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia mulai melakukan aksi menuntut agar segera dilakukan reformasi total, khususnya di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Pada saat itu, bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan mulai yang menimbulkan korban mulai terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Aksi damai yang merupakan bagian dari gerakan moral yang dilakukan mahasiswa di seluruh Indonesia menghadapi tantangan baru. Memasuki bulan Mei 1998, aksi lain yang mengarah pada perusakan, pembakaran, dan penjarahan mulai terjadi. Hal ini kemudian digunakan oleh pemerintah untuk mendeskriditkan aksi damai mahasiswa, yang ternyata semakin mendapat banyak dukungan masyarakat.
Pengumuman pemerintah tentang kenaikan BBM dan ongkos angkutan tanggal 4 Mei 1998
semakin memperluas aksi demonstrasi mahasiswa. Agenda reformasi yang menjadi tutnutan para mahasiswa mencakup beberal seperti :

- Adili Soeharto dan kroninya
- Laksanakan Amendemen UUD 1945
- Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya
- Tegakan Supremasi Hukum
- Ciptakan Pemerintahan yang bersih dari KKN

Pada tanggal 12 Mei 1998, aksi mahasiwa di Universitas Trisakti Jakrta berubah menjadi bentrokan fisik yang penuh dengan kekerasan Akibatnya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia, Heri Hertanto, Hendriawan, dan Hafidin Alifidin Royan, meninggal dunia.Selain itu ratusan mahasiswa mengalami luka ringan dan luka parah. Kekerasan tersebut mendorong munculnya solideritas yang lebih luas di dalam kampus maupun masyarakat umum, menentang kebijakan pemerintah yang tidak demokratis.
Peristiwa Trisakti telah memicu terjadinya kerusuhan dan penjarahan yang memuncak pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 terutama di Jakarta dan sekitarnya serta Surakarta. Ribuan tempat tinggal, pertokoan, kantor, dan kendaraan milik masyarakat Tionghoa dibakar. Ribuan orang mati terbakar di pusat-pusat pertokoan. Seluruh masyarakatan terutama di perkotaan dicekam perasaan tidak aman. Hal ini kemudian mendorong masyarakat keturunan Tionghoa pergi ke luar negeri secara besar-besaran demi keamanan.
Presiden Soeharto yang sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo Mesir segera pulang ke Tanah Air pada tanggal 15 Mei 1998. Tuntutan agar Presiden Soeharto segera mengundurkan diri semakin gencar disuarakan masyarakat. Rencanma mahasiswa untuk berdialog dengan pimpinan DPR, berubah menjadi aksi mimbar bebas.
Para mahasiswa kemudian memutuskan untuk tetap tinggal di gedung DPR/MPR, sampai tuntutan reformasi total mereka dipenuhi. Kehadiran para mahasiswa di gedung DPR/MPR, mengundang kedatang lebih banyak mahasiswa serta pendukung reformasi lainnya terutama sejak tanggal 18 Mei 1998.
Aksi mahasiswa tersebut mendapat dukungan spontan dari masyarakat, yang membawakan makanan dan minuman bagi mereka. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Namnun pada malam harinya, pimpinan ABRI menganggap bahwa himbauan agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri itu merupakan pendapat individu pimpinan DPR/MPR yang disampaikan secara kolektif.
Ketidak jelasan sikap para elit politik ini semakin memperbesar jumlah mahasiswa dan massa lainnya yang datang ke gedung DPR/MPR. Namun gerakan massa oposisi yanbg berasal dari berbagai kelompok itu tidak memiliki pimpinan yang jelas, walaupun pada saat itu terdapat beberapa orang individu yang menonjol memperjuangkan reformasi.
Sementara itu pada tanggal 19 Mei 1998 nilai mata uang rupiah semakin melemah menembus Rp. 15,000.00 per dollar US. Pada hari itu juga Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jakarta. Presiden Soeharto
kemudian mengumumkan tentang rencana pembentukan Komite Reformasi, melakukan perubahan cabinet, dfan segera melakukan pemilihan umum serta tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai presiden.
Tekanan terhadap Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri semakin besar. Pada peringatan hari kebangkitan nasional 20 Mei 1998 di Yogyakarta, para mahasiswa berhasil melakukan aksi damai menuntut reformasi total. Dalam perkembangan lain, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan cabinet tidak berhasil. Sebagian besar mereka yang ditawari untuk duduk di kabinet menolak.
Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, dan BJ Habibie yang menjabat wakil presiden disumpah oleh Mahkaman Agung sebagai presiden Republik Indonesia yang baru di Intana negar. Pengangkatan Presiden BJ Habibie menggantikan Soeharto di luar Sidang MPR itu didasarkan pada Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945.

2. Kronologi Peristiwa Reformasi
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi di Indonesia tahun 1998 dapat dipaparkan sebagai berikut :

a. Pada bulan Maret 1998 Sidang Umum MPR memilih Soeharto dan BJ Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003. Presiden Soeharto membentuk dan melaktik Kabinet Pembangunan VII.
b. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan melakukan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan pokok (sembako), Penghapusan KKN, dan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
c. Pada tanbggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa tertembak hingga tewas, dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka.
d. Pada tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam pewristiwa itu puluhan took dibakar dan isinya dijarah, dan ratusan orang mati terbakar.
e. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR
f. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi anjuran agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
g. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto.
h. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Intana Negara, Prtesiden Soeharto meletakan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Soeharto menyerahkan jabatannya kepada BJ Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga BJ Habibie dilantik menjadi presiden RI oleh Ketua MA.

C.KEADAAN MASA REFORMASI
1. Keadaan Ekonomi
Tahun 1998 adalah tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Krisis moneter yang melanda Asia berimbas juga terhadap Indonesia. Nilai rupian yang semula
hanya Rp. 2,000.00 per dollar US turun menjadi Rp. 10,000.00 per dollar US. Hutang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo waktu itu yang harus dibayar dalam bentuk dollar, membengkak menjadi lima kali lipat. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar negera sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dar iInternational Monetery Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi 70,9 milyar dollah US ditambah hutang swarta sebesar 20 milyar dollar US.
Pembangunan ekonomi periode 1998-2004 berjalan tak jelas arahnya. Masa tahun 1998-2004 merupakan masa transisi dari masa Orde Baru ke Orde Reformasi yang ditandai dengan silih bergantinya presiden.Dalam jangka waktu enam tahun terjadi tiga kali pergantian presiden. Dari Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999), Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), kemudian Megawati (23 Juli-20 Oktober 2004).
Pembangunan ekonomi yang terseok-seok disambut dengan gegap gempita euphoria politik rakyat Indonesdia yang selama masa Orde Baru dikekang, dan menjadi bebas di masa reformasi. Pada masa reformasi, Indonesia masih mencari jati diri dengan mencoba menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal biayanya. Oleh karena itu banyak dana pembangunan yang dialokasikan untuk pesta demokrasi tersebut., mulai dari Pemilu Legisliatif, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat hingga berbagai pemilihan kepala daerah (PILKADA) di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua tahun Presiden Susila Bambang Yudoyono (SBY) menjadi presiden RI yang ke enam. Secara bertahap dana subsidi migas dikurangi oleh pemerintah mulai dari bensin, solar, dan minyak tanah, yang selama ini membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang pada mekanisme pasar. Secara ekonomi memang menunjukan kondisi membaik, tetapi rakyat masih tetap miskin. Pengangguran belum bisa diatasi, nilai rupiah masih tetap rendah, kemampuan daya beli rakyat masih belum membaik, dan korupsi masih tinggi.

2. Keadaan Politik
Dalam kurun waktu enam tahun setelah lengsernya Presiden Soeharto, Indonesia mengalami tiga kali pergantian presiden. Iklim politik Indonesia sedang mencari bentuk dan sarat dengan ketidakmapanan. Karakter elit politik yang tidak bisa memberikan apresiasi terhadap keberhasilan orang lain dan suka mencerca pihak lain, mempengaruhi buruknya kehidupan politik pada masa reformasi. Mereka merasa lebih benar dan selalu mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga kepentingan bangsa dan Negara terabaikan. Itulah sebabnya mengapa tujuan reformasi menjadi kabur.
Sekalipun demikian kondisi politik Indonesia di masa reformasi menunjukan kemajuan. Demokratisasi berjalan dengan baik, seluruh rakyat mendapat haknya untuk memilih dan dipilih dengan bebas tanpa ada tekanan dari siapapun serta diajmin keamanannya.
Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto, berusaha menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilihan umum yang bebas, rahasia, jujur dan adil, membebaskan tahanan politik, dan mencabut larangan berdirinya Serikat Buruh Independen. Kehidupan politik mulai mengalami perubahan. Biarpun undang-undang baru tentang partai politik belum disahkan, partai-partai politik baru bermunculan sebagai antisipasi terhadap pemilihan umum multi partai yang akan diselenggarakan. Sampai bulan Agustus 1998 tidak kurang dari 50 partai politik telah mengumumkan pembentukannya. Tercatat sebanyak 48 partai politik mengikuti pemilihan umum tahun 1999, 42 partai politik dalam pemilihan umum 2004, 44 partai politik dalam pemilhan umum 2009.
Di pihak lain setiap warga Negara mempunyai kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat baik melalui media massa maupun aksi-aksi demontrasi asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum., sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa pemerintahan Orde Baru.
Proses otonomi daerah (desentralisasi kekuasaan) sejak diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sudah dilaksanakan dengan proses pemilihan
daerah melalui PILKADA. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme mulai dikikis melalui lembaga yang indipenden yaitu Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk presiden.

3. Keadaan Sosial-masyarakat
Dalam masa reformasi keadaan sosial masyarakat tampak belum begitu baik. Salah satu penyebabnya adalah sisi sempit dari pemaknaan reformasi. Reformasi dimaknai sebagai era kebebasan yang tidak terbatas. Munculnya oknum-oknum yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan. Penyalahgunaan wewenang menjadi gambaran buram keadaan social masa reformasi.
Kurun waktu 1998-2004, keadaan politik benar-benar mewarnai berbagai sendi kehidupan social masyarakat Indonesia. Masyarakat harus menyaksikan berbagai adegan baru yang bertentangan dengan karakter budaya asli Indonesia yang penuh tatakrama, sopan santun, saling menghargai satu sama lain, gotong royong dan sebagainya.
Perilaku saling menghancurkan, saling fitnah, dengki, dan dendam, mewarnai layer tontonan sehari-hari rakyat. Elit politik yang kalah dalam sebuah kompetisi demokrasi, tidak bersewdia menerima kenyataan dengan legowo. Apalagi memberi ucapan selamat kepada yang menang. Kompetitor dalam proses demokrasi dianggapnya sebagai musuh yang harus dihancurkan. Keadaan semacam itu secara langsungf atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan masyarakat luas.

4. Reposisi ABRI
Peran ABRI termasuk salah satu yang banyak mendapat sorotan, terutama peran dwi fungsi, netralitas politik, dan pelanggaran HAM yang timbul akibat adanya operasi militer.
Semua tuntutan tersebut telah mendorong ABRI memikirkan tentang perlunya sebuah paradigma baru bagi dirinya di masa depan.
Jenderal Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan reposisi secara bertahap sesuai dengan tuntutan masyarakat, dan secara bertahap akan mundur dari area politik serta akan memusatkan perhatian pada pertahanan Negara. Anggota yang masih menduduki jabatan
birokrasi diperintahkan untuk memilih kembali ke kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk berkarier di sipil. Dengan demikian anggota ABRI di dalam DPR/MPR makin berkurang dan akhirnya ditiadakan.

5. Reformasi Hukum.
Reformasi di bidang hukum mempunyai target yaitu substansi hukum, terciptanya aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan instansi peradilan yang independen. Pada masa Orde Baru, hukum hanya berlaku pada rakyat kecil. Sedangkan para penguasa seakan-akan memiliki kekebalan hukum. Sehingga masyarakat kecil sulit sekali memperoleh keadilan bila berurusan dengan penguasa. Dengan adanya reformasi di bidang hukum, keadilan diharapkan dapat tegak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

D. PEMERINTAHAN MASA REFORMASI
1. Pemerintahan Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999)
Ketika BJ Habibie menjabat presiden hampir tiada hari tanpa demonstrasi. Para demonstran mendesak BJ Habibie merespon tuntutan reformasi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan berserikat dan mendirikan partai politik, dan kebebasan lainnya.
Pengalihan jabatan presiden dari Soeharto kepada BJ Habibie dinilai banyak mengundang kontroversial berbagai pihak. Sebagian pihak menilai bahwa pengangkatan Presiden Habibie itu sah karena sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, sedangkan pihak lain mengnggap bahwa pengangkatan Presiden Habibie tidak sah karena Presiden harus disumpah di hadapan DPR. Selain itu Habibie dinilai sebagai orang dekatnya Soeharto, sehingga dikuatirkan keadaan ini akan menghambat proses reformasi karena visi dan pola kepemimpinan Orde Baru yang sarat dengan KKN akan berlanjut terus.
Presiden Habibie segera membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan, dan berusaha mendapatkan dukungan dari International Monetery Fund (IMF) dan komunitas negera-negara donor untuk mendukung program pemulihan ekonomi. Selain itu Habibie juga membebaskan tahanan politik dan melonggarkan pengawasan terhadap media massa serta kebebasan berakspresi.
Salah satu kebijakan Presiden Habibie yang sangat mengagetkan masyarakat Indonesia adalah mengadakan referendum bagi masyarakat Timor Timur untuk menentukan nasibnya. Presiden Habibie menawarkan opsi merdeka atau tetapa bersatu dengan NKRI. Dan sebagian besar masyarakat Timor Timur memilih opsi merdeka, maka lepaslah propinsi termuda Indonersia yang direbut dan dipertahan dengan susah payah semasa pemerintahan Presiden Soeharto itu. Dan Presiden BJ Habibie dianggap tidak mampu mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dilaksanakan Pemilihan Umum, yang diikuti oleh 48 partai politik. PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP, dan PAN merupakan lima partai utama yang memperoleh suara terbanyak secara nasional. Golongan Karya yang menang secara mutlak di seluruh Indonesia dalam enam kali pemilihan umum masa Orde Baru, mengalami kekalahan mutlak di Pulau Jawa, Bali, dan beberapa wilayah di Sumatera pada Pemilihan Umum 1999.
Pemilihan Umum 1999 berdampak positif bagi nilai mata uang rupiah. Nilai uang rupiah yang sempat merosot pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, menguat dan sempat mencapai nilai di bawah Rp.7.000,00 per dollar Amerika Serikat pada bulan Juli 1999.
Namun secara umum, ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti. Krisis perbankan dan moneter terus berlangsung, nilai rupiah terhadap mata uang asing masih belum menentu, daya beli sebagian besar masyarakat masih tetap rendah, dan investasi modal asing
masih sangat minim.
Setelah hanya sekitar setahun Presiden habibie memerintah, ia menyampaikan pertanggungjawabannya di MPR, namun ditolak. Penolakan ini berhubungan dengan sikap Presiden Habibie yang dianggap tidak serius melaksanakan agenda reformasi terutama mengusut kasus korupsi mantan Presiden Soeharto dan kroninya, serta lepasnya Timor Timur dari kekuasaan Indonesia. Dengan demikian BJ Habibie tidak punya kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan presiden berikutnya.

2. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001)
Walaupun PDIP meraih suara terbanyak sekitar 35 % dalam Pemilihan Umum tahun 1999, yang diangkat menjadi presiden oleh MPR adalah Abdurarrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP ditunjukj menjadi Wakil Presiden.
Pergantian Pemerintahan Presiden Habibie ke Presiden Gus Dur tidak banyak mengubah keadaan. Gus Dur tetap meneruskan proses demokrasi dan perkembangan ekonomi. Selain menghadapi ketidakpastian ekonomi, Gus Dur juga harus menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Timur timbul masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar akibat tindak kekacauan rakyat Timor Timur yang pro Indonesia.
Hubungan Presiden Gus Dur dengan DPR/MPR tidak begitu harmonis. Dan selama masa pemerintahannya sering terjadi konflik. Mulai dari pemberhentian beberapa menteri yang berasal dari Partai Golkar dan PDIP dalam Kabinet Persatuan, pengangkatan Ketua Mahkamah Agung, pengangkatan Kapolri, sampai issue puncak dugaan keterlibatan Presiden dalam kasus Bulogate dan Bruneigate.
Pertama konflik antara Gus Dur dengan DPR terjadi pada kasus pengangkatan Ketua Mahkamah Agung tahun 2000, Gus Dur menolak Muladi dan Bagir Manan yang dicalonkan DPR, karena kedua orang itu memilki keterkaitan dengan Orede Baru. Untuk beberapa saat terjadi kekosongan Ketua MA, sehingga tugas-tugas yang menjadi wewenang Ketua MA dijalankan oleh Wakil Ketua. Tetapi pada tanggal 20 Mei 2000 diangkat Bagis Manan sebagai Ketua Ma setelah Muladi mengundurkan diri.
Kedua konflik mengenai pengangkatan Kapolri Komjen (Pol) Chaerudin Ismail sebagai Kapolri tanpa melalui persetujuan DPR. Dalam hal ini Gus Dur telah melanggar TAP MPR No.VII/MPR Tahun 2000 Tentang Peran TNI dan Kepolisian, Pasal 3 (3) dan Pasal 7 (3) yang menyebutkan “ Untuk pengangkatan panglima TNI dan Kapolri harus dengan persetujuan DPR”. Terakhir issue sentral yang menjadi penyebab lengsernya Presiden Gus Dur adalah kasus Bulogate dan Bruneigate. DPR membentuk Pansus untuk menangani kasus Bulogate dan Bruneigate. Menurut Gus Dur Pansus itu ilegal, inkonstitusional, dan sarat muatan politik. Sedang DPR bmenganggap Pansus tersebut legal dan sesuai dengan prosedur yang ada. Akhir pada bulan awal Pebruari 2001 DPR menggelar Rapat Paripurna, dan memutuskan untuk mengeluarkan Memorandum I kepada Presiden karena telah melanggap TAP MPR No. IV/MPR Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Menanggapi hal itu Presiden melalui juru bicaranya Wimar Witoelar menyatakan akan mempercepat reformasi terutama dalam hal pemberantasan KKN dan penegakan hukum. Dan itu direalisasikan dengan ditetapkannya beberapa pejabat Orde Baru yang terlibat KKN, antara lain Probosutedjo, Hendro Budiyanto, Ginandjar Kartasasmita, dsb.
Tiga bulan setelah dikelurkannya Memorandum I kemudian DPR mengadakn Rapat Paripurna padfa bulan April 2001 untuk menilai kinerja Pemerintah setelah turunnya Memorandum I. DPR memutuskan bahwa belum ada usaha yang signifikan dari pemerintah untuk melakukan perubahan dalam memberantas KKN dan menegakan hukum, sehingga keluarlah Memorandum II.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa dan menetapkan pemberhentian Gus Dur dari jabatan Presiden RI. Sehari kemudian pada
tanggal 22 Juli 2001 Presiden Gus Dur mengeluarkan Dekrit yang menyatakan :

- Pembubran DPR/MPR,
- Pembekuan Partai Golkar, dan
- Percepatan Pemilu.

MA kemudian mengeluarkan fatwa untuk menolak Dekrit tersebut dan menyatakan Presiden telah melampaui batyas kewenangannya dan berdasarkan UUD 1945 Presiden tidak berhak untuk membubarkan DPR/MPR, pembekuan Partai Golkar, dan melakukan percepatan Pemilu.

3. Pemerintahan Presiden Megawati (23 Juli-20 Oktober 2004)
Pada tanggal 23 Juli 2001 melalui Sidang MPR, Megawati ditetapkan sebagai Presiden RI yang Ke-lima menggantikan Gus Dur. Megawati dilantik di tengah-tengah harapan akan membawa perubahan bagi Indonesi karena merupakan puti pertama Presiden Soekarno sebagai salah seorang pendiri Republik Indonesia. Melalui program kerjanya Megawati berjanji akan menjalankan pemerintahan dengan membangun kondisi dalam negeri yang kondusif dengan dukungan parlemen, TNI, POLRI, dan msyarakat, pembangunan ekonomi kerakyatan dan memperkuat integritas bangsa.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyakn perbaikan, seperti stabnilnya nilai mata uang rupiah terhadap uang asing, namun Indonesia pada masa pemerintahan Megawati tetap tidak menunjukan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya.
Komitmen Presiden Megawati terhadap penegakan hukum seperti penyelesaian kasus tragdei Mei 1998 masih belum menunjukan tanda-tanda kemajuan. Megawati tidak sungguh-sungguh menindalanjuti rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tragedi Mei. Hasil penemuan TGPF menyoroti adanya pertemuan di Markas Komando Stratyegis AD ( MAKOSTRAD) tanggal 14 Mei 1998 yang diduga kuat ada kaitannya dengan kasus Mei 1998.
Pemerintahan Megawati juga mendapat sorotan ketika penunjukan MA Rahman sebagai Jaksa Agung menggantikan almarhum Baharudin Lopa. MA Rahman memiliki catatan kurang baik ketika menjabat Ketua Tim Penyelidik Gabungan Kasus Pelanggaran HAM Timor Timur, Tanjung Periok, dan Abepura.
Di tengah-tengah gerakan msyarakat memberdayakan masyarakat sipil, Presiden Megawati kelihatannya masih ragu-ragu untuk melepaskan militer dari kancah politik. Kecurigaan ini diperkuat dengan adanya kesimpangsiuran tentang aliran dana Bantuan Presiden (Banpres) bagi perbaikan asrama TNI dan POLRI. DPR mempertanyakan tujuan alairan dan asal sumber dana tersebut. Demikian dalam kasus KKN, Megawati tidak menunjukan ketegasan. Bahkan yang lebih memalukan adalah keterlibatan Ketua DPR/MPR Akbar Tanjung dalam kasus Bulogate.
Populeritas Megawati yang awalnya tinggi di mata msyarakat Indonesia, drastis menurun. Ditambah dengan sikaponya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat, sehingga dianggap sebagai pemimpin yang dingin.
Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada Pemilu Pemilihan Presiden tahun 2004 ia ikut mencalonkan diri sebagai Calon Presiden, dengan harapan dapat mempertahankan kekuasaannya sebagai Presiden.
Namun dalam Pemilu tahun 2004, Presiden untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Megawati harus menghadapi ujian berat apakan rakyat
masih dapat menerima dan mau memlih dirinya sebagai Presiden? Namun ternyata rakyat lebih memilih Susilo Bambang Yudoyono dari Partai Demokrat yang menjadi pesaing Megawati sebagai Presien RI yang ke-enam.

4. Pemerintahan Presiden SBY (20 Oktober 2004-20 Oktober 2009)
a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
“Bersama Kita Bisa” merupakan jargon yang digunakan pasangan calon Presiden Susilo Bambang Yudono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) pada msa kampanye Pimilihan Presiden (pilpres) 2004. Begitu pasangan ini terpilih dan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2004-2009, jargon tersebut kemudian diwujudkan dalam program kerja Kabinet Indonesia Bersatu. Dngan agenda utama mengubah Indonesia menjadi lebih aman, lebih adil, dan lebi sejahtera.
Pada awal masa Pemerintahan Presiden SBY banyak menekankan pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan upaya pengentasan kemiskinan. Namun sejak tahun 2007 sebagaimana disampaikan dalam pidato awal tahun, SBY mengenalkan kebijakan baru yang pro rakyat, yakni pningkatan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Kebijakan pro rakyat ini merangkum semua keinginan Presiden SBY untuk mewujudkan perubahan seperti yang dijanjikan pada masa kampanye.
Rencana besar pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009). RPJM ini menjadi acuan bagi daerah dalam menyusun program kerja mereka. Presiden SBY sangat optimis mengenai progran kerja tersebut.
Pemerintah memang telah menyiapkan program yang pro rakyat., termasuk penyediaan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang hidup di sektor pertanian dan perikanan. Mencanangkan revitalisasi pertanian dan periakanan di Waduk Jatiluhur, yang ditindaklanjutio dengan peningkatan produksi gabah sebanyak dua juta ton hingga akhir 2007. Kegiatan ini ditopang dengan pemberian bibit unggul dsan benih unggul secara gratis kepada petani dan peternak ikan yang total anggarannya mencapai Rp. 1 triliun. Dan untuk mempercepat swasembada gula juuga dilakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula.
Untuk menciptakan lapangan kerja, pemerintah mendorong pertumbuhan industri dalam negeri yang didorong investasi baru di berbagai bidang, terutama di bidang infrastruktur pelabuhan, jalan tol, bandar udara, waduk, dsan pembangkit tenaga listrik. Untuk mengurangi jumlah rakyat miskin, sejumlah program digulirkan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), permodalan untuk Usaha Kecil Menengah (UKM), bantuan opereasional sekolah (BOS), serta jaminan asuransi kesehatanb bagi keluarga miskin (ASKESKIN).
Mengantisipasi kenaikan harga BBM yang menelan subsidi yang begitu besar, pemerintah melakukan konversi penggunaan minyak tanah ke gas elpiji yang dilakukan dengan memberikan jutaan tabung gas dan kompor gas gratis kepada rakyat. Namun semua yang diupayakan pemerintah ini belum dirasakan hasilnya oleh masyarakat luas. Karena adanya beberapa kendala yang dihadapi di lapangan terutama yang terkait dengan birokrasi dan aparat pemerintah.
Di samping itu Pemerintahan Presiden SBY juga berhasil mengatasi berbagai konflik seperti di Ambon, Sampit, dan Aceh. Pada tanggal 17 Juli 2005, tercapai kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka,. Yang isinya antara lain mengakhiri konflik di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun.
Terlepas dari segala kekurangannya, pemerintahan SBY berhasil meletakan kembali dasar-dasar penting sebagai prasyarat utama membangun masa depan bangsa. Di tengah berbagai persoalan globar, keamanan dalam negeri jauh membaik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemberantasan korupsi dengan segala dinamikanya, terus ditingkatkan dan diprioritaskan. Cadangan devisa Negara pada masa pemerintahan SBY mencapai 60 milyar dollar US, sesuatu yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Hutang kepada
IMF dilunasi, tidak lagi melakukan import beras, bahkan produksi dalam negeri mengalami surplus.
Ketika pemerintahan SBY berjalan beberapa bulan, gelombang Tsunami yang maha dahsyat melanda Aceh dan Nias, yang menyebabkanj ratusan ribu orang meninggal dan kerugian materi milyaran dollar. Namun dengan adanya kepercayaan yang sangat tinggi dari
banyak Negara di dunia terhadap pemerintah, dan dengan penanganan yang terprogram, pemerintah berhasil menangani persoalan-persoalan pasca bercana tersebut.
Kabinet Indonesia Bersatu secara bertahap dan terprogram,, telah berhasil menata kembali berbagai prasyarat bagi pembangunan bangsa ke depan. Keberhasilan hasil kerja keras ini akan sia-sia apabila dirusak oleh sikap dan perilaku yang hanya menempatkan kepentingan politik pribadi dan kelompok di atas kepentingan bangsa dan Negara.
Reformasi harus selalu digunakan sebagai landasan positif dalam membangun kepentingan bangsa dan Negara. Pembangunan bangsa harus berkelanjutan, karena itu bangsa ini butuh pemerintahan yang kuat dan pemimpin yang teguh menjalani sumpah jabatannya untuk kepentingan masyarakat.

*****

Selasa, 09 Februari 2010

KEADAAN EKONOMI MASA ORDE BARU

KEADAAN EKONOMI MASA ORDE BARU
BY : NANDANG KOSASIH
A. PENATAAN EKONOMI NASIONA
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Dan pada masa Orde Baru, pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamaban kebutuhan pokok rakyat. Tindakan ini dilakukan pemerintah karena pada masa awal tahun 1966 terjadi kenaikan harga sehingga inflasi hampir mancapai 650% setahun. Hal itu telah menyebabkan kurang lancarnya pelaksanaan program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah.

1. Stabilisasi dan Rehabilitasi ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah :

a. Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari
oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
b. MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi .

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakekat dari kebijakan ini adalah pembinaan system ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi kea rah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah :
a. Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah :

1) Rendahnya penerimaan negara
2) Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara
3) Terlalu banyak dan tidak efisiensinya ekspansi kredit bank
4) Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
5) Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana

b. Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
c. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru menempuh cara-cara :

1) Mengadakan operasi pajak
2) Melaksanakan system pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
3) Menghemat pengeluar pemerintah ( pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan Subsidi bagi perusahaan Negara.
4) Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan pemerintah.
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga prkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankkan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuaasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga (Negara) tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.

2. Kerjasama Luar Negeri
a. Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat besar yakni mencapai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia.
Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo. Pemerintah Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris (Perancis) dan dicapai kesepakata sebagai berikut :

1) Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
2) Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
3) Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4) Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap Negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

b. Pertemuan Amesterdam
Pada tanggal 23-24 Pebruari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam (Belanda) yang bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat lunat, yang selanjutnya dikewnal dengan IGGI (Inter Governmental Group for Indonesia).
Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan. Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga berusaha dan telah berhasil mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kemabli (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama. Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.

B. PEMBANGUNAN NASIONAL
1. Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah orde baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun.
Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yanmg tertulis dalam pembukaan UUD 1945; yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan-perdamaian abadi-serta keadilan sosial.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan.Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :

a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah :

a. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan,sandang dan
perumahan.
b. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
c. Pemerataan pembagian pendapatan.
d. Pemerataan kesempatan kerja
e. Pemerataan kesempatan berusaha
f. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
g. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
h. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

2. Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita

a. Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru.


Tujuan Pelita I : Meningkatkan tarap hidup rakyat dan sekaligus meletakan dasar
dasar bagi pembangunan tahap berikutnya.

Sasaran Pelita I : Pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat,
perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan
bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih
hidup dari hasil pertanian.

b. Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran uatama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflai mencapai 60 % dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47 %. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadim 9,5 %.

c. Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelaksanaan Pelita III
masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

d. Pelita IV
Pelita IV dilaksanapa tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada panagn, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

e. Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik disbanding sebelumnya.

f. Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda Negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang menganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

C. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI PEMERINTAH ORDE BARU
1. Dampak Positif kebijakan ekonomi masa Orde Baru
a. Pertumbuhan ekonomi tinggi, karena setiap program pembangunan direncanakan
dengan baik dan hasilnya dapat dilihat secara kongkrit
b. Indonesia berubah dari status Negara pengimpot beras terbesar menjadi bangsa yang
memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
c. Penuruna angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
d. Penurunan angka kematian bayi dan angka partisiasi pendidikan dasar meningkat.

2. Dampak negatif kebijakan ekonomi masa Orde Baru
a.Timbulnya kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam.
b. Perbedaan ekonomi antara daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam.
c. Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi,
Nepotisme)
d. Pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata, sehingga hasilnya hanya dinikmati
oleh sebagian kecil masyarakat.
e. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi
pembangunan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
f. Sekalipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi secara fundamental pengbangunan
ekonomi sangat rapu.
g. Pembangunan yang tidak merata, tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah
wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar kepada negera, seperti Riau,
Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selanjutnya menjadi penyebab
terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.

*****