Sabtu, 12 Januari 2013

ISLAM DI TATAR SUNDA


ISLAM DI TATAR SUNDA
Kapan pertama kali masuknya Islam ke Tatar Sunda? Sampai kini belum diketahui secara pasti,
karena belum ditemukan bukti-bukti yang cukup kuat tentang hal itu. Namun, dari segi geografis dapat ditelusuri bahwa Tatar Sunda berada pada lintasan pelayaran niaga internasional pada kurun waktu abad ke-15 sampai abad ke-17 Masehi. Ditinjau dari letak geografis, boleh jadi pantai utara Tatar Sunda adalah daerah yang lebih dahulu mendapat sentuhan agama Islam daripada Jawa Tengah dan Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur lainnya.
Dari aspek geografis inilah dapat dipahami bahwa dalam tahap awal pembawa dan penyebar agama Islam di Nusantara pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang yang pada awalnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke kepulauan Nusantara. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian Asia Barat Daya, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Kedatangan para pedagang muslim ke Nusantara dalam jaringan pelayaran internasional telah berlangsung sebelum zaman Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka –yang kemudian menjadi pusat kerajaan Islam yang mempunyai hubungan ekonomi perdagangan dengan daerah-daerah lain di Nusantara– memungkinkan tersebarnya ajaran Islam ke seluruh wilayah kepulauan Nusantara.


B. Awal Penyebaran Islam di Tatar Sunda
Di Tatar Sunda, seperti diceriterakan dalam naskah Carita Parahiyangan, bahwa seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putera kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia pun dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, menjadi pemeluk Islam. Namun, kakaknya pun menolak. Ketidakberhasilan tersebut tidak menyebabkan keretakan hubungan kekeluargaan, Haji Purwa tetap memberi bantuan untuk kelancaran pemerintahan saudara-saudaranya. Haji Purwa kemudian menetap di Cirebon (Caruban) Girang yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda dijadikan titik tolak masuknya agama Islam ke Tatar Sunda pada pertengahan abad ke-14, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke Tatar Sunda berasal dari Makkah yang dibawa oleh Bratalegawa seorang pedagang, dan kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa Barat, namun diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat. Hal ini disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran terhadap masyarakat setempat masih kuat.
Sementara itu di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang. Syekh Quro nama aslinya adalah Syekh Hasanuddin putra Syekh Yusuf Sidik, seorang ulama yang datang dari negeri Campa (daerah Vietnam sekarang). Ia datang di Pulau Jawa –sebagai utusan, pada abad ke-14 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi– menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang. Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan bertempat tinggal di sana. Di Karawang ia menikah dengan Ratna Sondari, puteri Ki Gedeng Karawang, dan membuka pesantren yang diberi nama pondok Quro yang khusus mengajarkan al-Qur’an, karena itulah Syekh Hasanuddin kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro bermukim di Karawang sampai wafat dan dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Wadas, Karawang.
Sumber lain yang menunjukkan datangnya Islam pertama kali di Jawa Barat adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, 1720 (Lihat: Atja, 1986). Naskah ini antara lain menyebutkan adanya tokoh yang bernama Syekh Nurjati yang disebut pula Syekh Datuk Kahpi, Syekh Idofi, atau Syekh Nuruljati, seorang ulama yang berasal dari Arab (Persi). Ia datang sebagai utusan Raja Parsi bersama 12 orang pengikutnya sekitar abad ke-14, pada masa Ki Gedeng Jumajanjati. Atas izin dan kebaikan penguasa pelabuhan itu, Syekh Nurjati kemudian menetap dan bermukim di Pasambangan, di bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon sekarang. Ia kemudian menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren yang tumbuh menjadi sebuah pesantren yang cukup ramai. Pesantren di Muara Jati lebih berkembang lagi ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dari Mesir (Wildan, 2002: 25-29).
Dalam tahap awal, sebagaimana yang dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Boleh jadi, kegiatan mereka dalam menyebarkan agama Islam pada tahap awal adalah mengenalkan agama Islam kepada sejumlah penduduk. Seiring dengan terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama, yaitu para guru agama yang mendidik beberapa orang santri di pesantren atau paguron masing-masing, maka syiar Islam mulai berkembang pesat, cahaya Islam mulai tersebar di Tatar Sunda.

C. Sunan Gunung Jati, Tokoh Penyebar Islam di Tatar Sunda
Tokoh Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati (SGJ) sejauh ini dianggap sebagai tokoh penyebar agama Islam di tanah Sunda dan penegak kekuasaan Islam pertama di Cirebon. Dalam usia 20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai guru agama Islam karena ia telah belajar di Mekah, Madinah, hingga Baghdad. Dalam perjalanannya ke Cirebon, ia singgah di Pasai dan tinggal bersama Maulana Iskak (Sulendraningrat, 1972: 7, Siddique, 1977: 64-65), kemudian tiba di pelabuhan Muara Jati (Cirebon) lalu melanjutkan perjalanan ke Desa Sembung-Pasambagan, dekat Giri Amparan Jati, pada tahun 1475.
Setibanya di Cirebon, SGJ kemudian tampil sebagai seorang muballigh dalam penyebaran Islam di Tatar Pasundan. Dalam tahun-tahun pertama memulai tugas dakwahnya di Cirebon, SGJ berperan sebagai guru agama menggantikan kedudukan Syekh Datuk Kahfi dengan mengambil tempat di Gunung Sembung, Pasambangan yang agak jauh dari istana atau pusat negeri Cirebon. Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat, ia mendapat sebutan/gelar Syekh Maulana Jati yang sehari-harinya disebut Syekh Jati. Selain di Dukuh Sembung-Pasambangan, ia mengajar pula di dukuh Babadan, sekitar tiga kilometrer dari dukuh Sembung. Setelah beberapa lama tinggal di Dukuh Sembung, ia memperluas medan dakwahnya hingga ke Banten. Beberapa waktu lamanya SGJ tinggal di Banten mengajarkan dan mengembangkan syiar Islam. Sepulangnya dari Banten pada tahun 1479, Syarif Hidayat dinobatkan menjadi Tumenggung oleh Pangeran Cakrabuwana dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul di tanah Sunda (Lihat: Sunardjo, 1983: 55-57) dan selengkapnya bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah Saw. (Sulendraningrat, 1968: 16).
Melalui penobatan SGJ sebagai panetep panatagama di tanah Sunda mengandung arti bahwa martabatnya telah sama dengan para wali lainnya. Melalui penobatan ini secara tidak langsung merupakan “pengumuman” dari Walisanga kepada para ulama dan muballigh sepulau Jawa, khususnya yang ada di Tatar Sunda, untuk mengikuti segala petunjuk SGJ dalam melaksanakan syiar Islam. Dengan demikian, di tanah Jawa terdapat dua kerajaan Islam, yang satu adalah kerajaan Demak yang telah lebih dahulu berdiri, bersamaan dengan keruntuhan Majapahit sekitar tahun 1478 yang dipimpin oleh Raden Patah seorang sultan yang bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah Amiril Mukminin; dan yang kedua adalah kerajaan Cirebon (1479) yang dipimpin oleh Susuhunan Jati sebagai panetep panatagama Rasul yang keduanya adalah pemimpin agama Islam sekaligus sebagai raja (Sunardjo, 1983: 62). Salana (1995: 1) menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 12 Puasa 1404 Saka (1482 Masehi), Maulana Jati sebagai Tumenggung Cirebon menyatakanberdirinya kesultanan Cirebon. Pengiriman pajak terasi kepada kerajaan Pakuan Padjadjaran yang biasanya diserahkan setiap tahun melalui Adipati Palimanan, dihentikan. Sejak itu SGJ mulai memperluas daerah kekuasaannya.
Sunan Gunung Jati adalah seorang propagandis Islam di Jawa Barat, The Propagator of Islam in West Java (Stevens, 1978: 80). Dalam aktivitasnya ia melakukan perjalanan dakwah kepada penduduk Pulau Jawa bagian barat untuk menganut agama Islam. Dimulai dari Cirebon dan sekitarnya ia melaksanakan tugasnya sebagai panatagama. Tugas ini dilaksanakan dengan dasar-dasar dogmatis dan rasional yang menopang kegiatannya, antara lain keteguhan iman dan sikap takwa yang murni dan ikhlas dalam berjuang untuk menyebarkan agama Allah sehingga mengangkat derajat dirinya dan layak menyandang sebutan wali atau kekasih Allah. al-Qur’an Surat (10) Yunus ayat 62-63 dan Surat (29) al-Ankabut ayat 69 menegaskan:
(62) Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati
(63) (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
Surat (29) al-Ankabut ayat 69:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Di luar alasan dogmatis, ada pula beberapa alasan rasional yang membawa keuntungan bagi posisi dan kedudukan para wali dalam bentangan kultural sehingga menjadi faktor penting bagi reputasi mereka. Umumnya para wali itu –termasuk SGJ– adalah keturunan orang-orang terpandang dan bangsawan, serta mempunyai peluang ekonomi yang baik. Dengan keturunan yang baik, kedudukan yang tinggi sebagai tumenggung, dan topangan ekonomi yang kuat, serta kesalehan yang dimiliki, SGJ melakukan tugas dakwah menyebarkan agama Islam ke berbagai lapisan masyarakat. Dukungan-dukungan ini memungkinkannya untuk melakukan mobilitas ke berbagai tempat dan memudahkan pula menarik warganya untuk menganut ajaran agama yang dibawanya. Dukungan personal di atas didukung pula oleh aspek dukungan organisasi kelompok dalam forum Walisanga yang secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah sebagai siasat yang tepatuntuk mempercepat tersebarnya ajaran Islam.
Di samping itu, SGJ diyakini mempunyai ilmu agama mulai ilmu fiqh, syari‘ah, bahkan tasawuf, dan mistik, di samping masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan seperti kesehatan, keluarga dan rumah tangga, ekonomi, politik dan kenegaraan, serta pendidikan, dan kebudayaan. Berkenaan dengan masalah kesehatan, SGJ mempunyai peran dakwah yang khas dalam masalah ini. Pengobatan lahir yang harus diatasi dengan obat-obat maddiyah (lahiriah) seperti daun-daun dan akar-akaran, serta kesehatan dan pengobatan batin yang semula diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampi-jampi, dan mantra-mantra, oleh SGJ diganti dengan doa-doa Islam (Lihat: Saksono, 1995: 111).
Salah satu bukti keberhasilan dakwah SGJ yang masih diajarkan oleh keturunannya melalui Sultan Kasepuhan dan kerabat keraton Cirebon adalah pengamalan petatah-petitih SGJ yang secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks. Effendi (1994: 14-34) mengungkapkan unsur-unsur petatah-petitih SGJ, yakni petatah-petitih dalam nilai ketaqwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama, dan kehidupan sosial.
Sebagai seorang muballigh, wali, dan kepala negara, Ia lebih memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah. Salah satunya adalah menyediakan sarana ibadat keagamaan dengan mempelopori pembangunan mesjid agung dan mesjid-mesjid jami di wilayah bawahan Cirebon. Untuk menjalankan roda pemerintahan dan aktivitas masyarakat dibangun sarana dan prasarana bagi umum, seperti keraton, sarana transportasi perdagangan yang melalui jalan laut, serta sungai, dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan (pasukan jaga baya) yang jumlah dan kualitasnya memadai baik untuk di pusat kerajaan maupun di wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya. Untuk mendanai berbagai pembangunan sarana dan prasarana, SGJ memberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan kerajaan Pakuan Padjadjaran (Lihat: Soenardjo, 1996: 31-32).

D. Dari Sunda Wiwitan ke “Sunda Islam”
Dalam proses penyebaran agama Islam di Tatar Sunda, tidak seluruh wilayah Tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat –meski dalam lingkup kecil– terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monotheis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan, yakni Sanghyang Keresa (Yang Mahakuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Mahagaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk mensejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana, dimana konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan (Garna, 1992: 5).
Dalam pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya mempunyai empat tujuan utama yaitu: (1) menghormati para karuhun atau nenek moyang; (2) mensucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat. Dengan demikian, mantera-mantera yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.
Masuknya agama Islam ke Tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang kemudian menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran.
Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui bahwa perbedaan mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda (1992: 2-3) mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang are atau dulur are. Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda. Yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.
Berbeda dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan tradisinya akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan oleh Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay Kabupaten Bandung. Madrais yang semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru yang mengajarkan paham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris yang disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1 Sura sebagai hari besar Seren Taun yang dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan ngagondang (menumbukkan alu pada lisung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, namun menolak al-Qur’an dengan anggapan bahwa al-Qur’an yang sekarang tidak syah, sebab al-Qur’an yang sejati baru akan diturunkan menjelang kiamat (Lihat: Ensklopedi Sunda, 2000).
Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan oleh anaknya bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah. Pada tangal 11 Juli 1981, ia mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) yang mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan ajaran karuhun Sunda dan keluar dari agama Islam.
Sementara Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan aliran kepercayaan Perjalanan yang dikenal dengan Agama Kuring (Agamaku) dan pendiri Partai Permai di Ciparay, Kabupaten Bandung. Kisahnya, pada tanggal 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Dia menulis buku Budi Daya tahun 1935 yang dijadikan “kitab suci” oleh para pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan juga Islam (Wildan, 2003)

History of Bandung


History of Bandung

The city history dates from 1488 when the first reference to Bandung exists. But from ancient archeological finds, we know the city was home to Australopithecus, Java Man. These people lived on the banks of the Cikapundung in north Bandung, and on the shores of the Great Lake of Bandung. Flint artifacts can still be found in the Upper Dago area and the Geological Museum has displays and fragments of skeletal remains and artifacts.
The Sundanese were a pastoral people farming the fertile regions of Bandung. They developed a lively oral tradition which includes the still practiced Wayang Golekpuppet theatre, and many musical forms. "There is a city called Bandung, comprising 25 to 30 houses," wrote Juliaen de Silva in 1614.
The achievements of European adventurers to try their luck in the fertile and prosperous Bandung area, led eventually to 1786 when a road was built connecting Jakarta, Bogor, Cianjur and Bandung. This flow was increased when in 1809 Louis Napoleon, the ruler of the Netherlands, ordered Governor General H.W. Daendels, to increase defences in Java against English. The vision was a chain of military defense units and a supply road between Batavia and Cirebon. But this coastal area was marsh and swamp, and it was easier to construct the road further south, across the Priangan highlands.
The Grote Postweg (Great Post Road) was built 11 miles north of the then capital of Bandung. With his usual terseness, Daendels ordered the capital to be relocated to the road. Bupati Wiranatakusumah II chose a site south of the road on the western bank of the Cikapundung, near a pair of holy wells, Sumur Bandung, supposedly protected by the ancient goddess Nyi Kentring Manik. On this site he built hisdalem (palace) and the alun-alun (city square). Following traditional orientations,Mesjid Agung (The Grand Mosque) was placed on the western side, and the public market on the east. His residence and Pendopo (meeting place) was on the south facing the mystical mountain of Tangkuban Perahu. Thus was The Flower Cityborn.
Around the middle of the l9th Century, South American cinchona (quinine), Assam tea, and coffee was introduced to the highlands. By the end of the century Priangan was registered as the most prosperous plantation area of the province. In 1880 the rail line connecting Jakarta and Bandung was completed, and promised a 2 1/2 hour trip from the blistering capital in Jakarta to Bandung.
With this life changed in Bandung, hotels, cafes, shops sprouted up to serve the planters who either came down from their highland plantations or up from the capital to frolic in Bandung. The Concordia Society was formed and with its large ballroom was the social magnet for weekend activities in the city. The Preanger Hotel and the Savoy Homann were the hotels of choice. The Braga became the promenade, lined with exclusive Europeans shops.
With the railroad, light industry flourished. Once raw plantation crops were sent directly to Jakarta for shipment to Europe, now primary processing could be done efficiently in Bandung. The Chinese who had never lived in Bandung in any number came to help run the facilities and vendor machines and services to the new industries. Chinatown dates from this period.
In the first years of the present century, Pax Neerlandica was proclaimed, resulting in the passing of military government to a civilian one. With this came the policy of decentralization to lighten the administrative burden of the central government. And so Bandung became a municipality in 1906.
This turn of events left a great impact on the city. City Hall was built at the north end of Braga to accommodate the new government, separate from the original native system. This was soon followed by a larger scale development when the military headquarters was moved from Batavia to Bandung around 1920. The chosen site was east of City Hall, and consisted of a residence for the Commander in Chief, offices, barracks and military housing.
By the early 20's the need for skilled professionals drove the establishment of the technical high school that was sponsored by the citizens of Bandung. At the same time the plan to move the capital of the Netherlands Indies from Batavia to Bandung was already mature, the city was to be extended to the north. The capital district was placed in the northeast, an area that had formerly been rice fields, and a grand avenue was planned to run for about 2.5 kilometers facing the fabledTangkuban Perahu volcano with Gedung Sate at the south end, and a colossal monument at the other. on both sides of this grand boulevard buildings would house the various offices of the massive colonial government.
Along the east bank of the Cikapundung River amidst natural scenery was the campus of the Technische Hoogeschool, dormitories and staff housing. The old campus buildings and its original landscaping reflect the genius of its architectHenri Maclain Pont. The southwestern section was reserved for the municipal hospital and the Pasteur Institute, in the neighborhood of the old quinine factory. These developments were carefully planned down to the architectural and maintenance details. These years shortly before World War II were the golden ones in Bandung and those alluded to today as Bandung Tempoe Doeloe.
The war years did little to change the city of Bandung, but in 1946, facing the return of the Colonial Dutch to Indonesia, citizens chose to burn down their beloved Bandung in what has become known as Bandung Lautan Api, Bandung Ocean of Fire. Citizens fled to the southern hills and overlooking the "ocean of flames" penned "Halo Halo Bandung," the anthem promising their return. Political unrest colored the early years of Independence and consequently people flocked to Bandung where safety was. The population skyrocketed from 230,000 in 1940 to 1 million by 1961. Economic prosperity following the oil boom in the 70's pushed this further so that by 1990 there were 2 million inhabitants.
Present day Bandung is thriving. As home to more than 35 schools of higher education, there is a vibrant collegiate atmosphere. The excellent fine arts offerings have produced an artist colony of great repute and excitement. The textile industry is the largest in the country and contributes to a vigorous business climate.
In 1987 the city extended its administrative boundaries toward a Greater Bandung Plan (Bandung Raya) Plans for the city include higher concentrations of development outside the current city centre, in an attempt to dilute some of the population density in the old core. These days Bandung Raya is still years ahead, yet the land has suffered deeply. Commercial activities run amok, God only knows who can take control. The city core is practically uprooted, old faces are torn down, lot sizes regrouped, and what was idyllic residence is now bustling chain supermarkets and rich banks.