Minggu, 24 Januari 2010

SEJARAH PERKEMBANGAN HINDU-BUDHA DI INDONESIA

PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA DI INDONESIA
BY : NANDANG KOSASIH

A. PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA SERTA KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA
1. Pendahuluan
Materi pembelajaran ini akan mengantarkan anda untuk memahami pengaruh Agama dan kebudayaan Hindu-Budha terhadap kebudayaan masyarakat Indonesia. Agama Hindu-Budha tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi Anda, karena kedua agama tersebut mempengaruhi perkembangan awal sejarah Indonesia.
Agama Hindu dan Budha merupakan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di India pada tahun 1500-500 Sm. Agama Hindu diciptakan oleh bangsa Arya yaitu bangsa pengembara dari utara yang masuk ke India melalui celah Kaibar dan menduduki lembah sungai Gangga dan Yamuna. Bangsa Arya berhasil mendesak bangsa Dravida yang lebih dulu menduduki daerah lembah kedua sungai tersebut. Agama Hindu bersifat polytheisme dengan dewa utamanya Trimurti yang terdiri dari Brahma (Sang Pencipta), Wisnu (Sang Pemelihara) dan Syiwa (Sang Perusak). Adapun kitab sucinya adalah Weda.
Sedangkan agama Budha muncul setelah agama Hindu. Pada awalnya Budha hanya sebagai suatu ajaran dalam rangka mencari kebenaran yang dilakukan oleh Sidharta Gautama. Ia adalah putra mahkota dari Kerajaan Kapilawastu, putra raja Sudhodana dan putri Maya. Ia menjalani hidup sebagai cakyamuni (pendeta) sampai menerima wahyu yang berupa kesadaran akan penderitaan dan cara mengatasi penderitaan tersebut. Dalam hal ini Sidharta dianggap sebagai Budha Gautama. Kitab suci agama Budha adalah Tripitaka (tiga keranjang) yang menggunakan bahasa Pali, bahasa rakyat Magadha. Sepeninggal Sidharta Gautama, agama Budha berkembang menjadi dua aliran yaitu aliran Mahayana (kendaraan besar) dan aliran
Hinayana (kendaraan kecil).
Kemudian agama Hindu dan Budha tersebut berkembang ke berbagai negara di Asia
Timur maupun Asia Tenggara termasuk ke Indonesia, yang akhirnya mempengaruhi kebudayaan Indonesia.
Dengan materi pembelajaran ini, anda diharapkan benar-benar dapat memahami unsur-unsur kebudayaan Hindu-Budha yang telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga anda dapat menghargai hasil karya atau peninggalan bersejarah bangsa Indonesia tersebut. Bagaimana proses masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap kebudayaan Indonesia?

2. Hubungan Indonesia dengan India
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki posisi yang sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik), yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia. Untuk lebih jelasnya, silahkan Anda amati gambar peta jaringan perdagangan laut Asia Tenggara berikut ini!
Pada abad 1 Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih ke jalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Oleh karena itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia.
Kontak atau hubungan antara Indonesia dengan India terjadi dalam beberapa bentuk seperti:

a. Hubungan Dagang
Menurut para ahli, hubungan perdagangan antara Indonesia dengan India lebih dahulu berkembang daripada hubungan Indonesia dengan Cina. Namun untuk menentukan kapan
hubungan tersebut dimulai sangat sulit. Tetapi para ahli sepakat mengajukan dugaan bahwa hubugan dagang ini telah terjadi jauh sebelum disinggung dalam catatan sejarah.
Berita tentang adanya hubungan dagang antara Indonesia dengan India ini diperoleh dari seorang ahli geografi bangsa Yunani dari Iskandariah (Mesir) yang bernama Cladius Ptolomeus. Di dalam bukunya “Geographike” yang ditulis sekitar abad ke 2 masehi , Ptolomeus menyebutkan nama Iabodiou yang berarti pulau jelai. Kata tersebut ditafsirkan sebagai pengucapan orang Yunani untuk melapalkan Yawadwipa. Apakah yang dimaksud Yawadwipa itu, Jawa atau Sumatra, sulit untuk dipastikan. Tapi yang jelas menunjuk suatu tempat yang terdapat di kepulauan Nusantara.
Istilah Yawadwipa ini ditemukan juga dalam Kitab Ramayana. Pada bagian cerita pencarian Dewi Shinta yang diculik Raja Rahwana oleh pasukan Kera, sampai ke Yawadwipa. Dalam bahasa Sangsekerta yawa berarti jawawut (padi) dan dwipa berarti pulau, jadi yang dimaksud Yawadwipa
adalah pulau yang menghasilkan padi.
Sementara itu telah terjalin hubungan dagang antara India dengan Cina. India banyak mengimport sutra dan barang porselin dari Cina, sedangkan Cina mengimport barang-barang dari gading, kain dan barang ukiran dari India. Perdagangan antara kedua Negara itu semula berlangsung melalui jalan darat yang terkenal dengan nama Jalan Sutra. Tetapi karena melalui jalan darat ini semakin lama semakin tidak aman, maka hubungan melalui jalan laut semakin ramai. Hubungan melalui laut ini berjalan melewati selat Malaka. Hal ini berarti para pedagang tersebut melewati kepulauan Indonesia, maka lambat laun Indonesiapun terlibat dalam perdagangan antara India dan Cina.
Para pedagang Indonesia yang semula hanya berdagang antar pulau, akhirnya ikut terlibat dalam perdagangan dengan India dan Cina. Apalagi setalah barang-barang komoditas dari Nusantara dikenal oleh para pedagang dari India dan Cina. Adapun barang-barang komoditas Indonesia adalah kapur barus, emas, perak, beras, gading, kayu cendana, dan rempah-rempah.
Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu terkenal sebagai pelaut ulung. Lautan yang ada antara pulau-pulau tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk mengambil bagian dalam perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Hubungan dengan daerah pedalaman yang penuh hutan belukar jauh lebih sulit daripada hubungan antar pulau yang melintasi lautan.
Pada awal abad masehi di pesisir Sumatera dan Jawa mulai tumbuh beberapa pusat perdagangan. Pusat-pusat perdagangan tersebut tumbuh akibat hubungan dagang antara India dengan Cina yang mengembangkan jalur perdagangan laut. Saat itu penduduk di Indonseia masih hidup di masa pra-aksara.
Dari hasil penelitian nekara perunggu peninggalan zaman pra-aksara, dapat diketahui bahwa penduduk di kepulauan Nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan penduduk di wilayah Asia Tenggara lainnya. Nekara yang ditemukan di Indonesia memiliki tipe yang sama dengan nekara-nekara yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara. Adanya nekara tipe Asia Tenggara di Nusantara tidak harus berarti bahwa nekara tersebut berasl dari sana. Sebab ada kemungkinan sebagian dari nekara-nekara itu dibuat juga di Indonesdia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya beberapa cetakan nekara di Bali.
Hubungan dagang antara Nusantara dan Asia Tenggara kemudian melibatkan juga pedagang dari India dan Cina. Dari hasil penelitian para ahli, dapat diketahui bahwa hubungan dagang antara India dengan Nusantara lebih dahulu berkembang daripada hubungan dagang antara Nusantara dengan Cina.

b. Hubungan para Penziarah
Sejalan dengan berkembangnya hubungan dagang antara Cina dengan India yang melibatkan Indonesia, agama Budhapun mulai masuk dan berkembang ke Indonesia dan Cina. Agama Budha telah mendorong para pemeluknya untuk pergi ke India. Dan dari India pun banyak para pendeta Budha hendak menyumbangkan tenaganya menyebarkan agama Budha ke Asia Tengah, Cina , Korea, Jepang, Indonesia dan negeri-negeri lainnya.
Salah seorang rahib agama Budha, yang bernama Gunawarman putra raja Kahmir, datang ke negeri Cho-Po (Jawa) untuk menyebarkan agama Budha Hinayana. Kemudian ia meneruskan perjalanannya ke Cina pada tahun 424 M..
Ketika di Sumatera berkembang kerajaan Sriwijaya dan menjadi pusat agama Budha di Asia Tenggara, banyak pemuda yang dikirim untuk belajar ke India seperti ke Nagapattam di India
Selatan dan ke Nalanda di India Utara.

c. Hubungan karena Tindakan Militer
Kontak hubungan Indonesia dengan India terjadi juga karena adanya aksi militer, seperti yang pernah dilakukan Raja Rajendra dari Colamandala di India Selatan. Pada tahun 1025 Kerajaan Colamandala mengerahkan ekspedisi militernya untuk menyerbu dan membajak ibu kota Sriwijaya. Tujuan Colamandala waktu itu adalah merebut dan menguasai daerah jalur lalu lintas perdagangan di sepanjang perairan Selat Malaka.

d. Hubungan karena Perpindahan Penduduk
Ketika di India Selatan berkembang Kerajaan Kalingga, terjadi arus perpindahan penduduk dari kerajaan tersebut ke Indonesia. Berita tentang adanya perpindahan penduduk itu diperoleh dari prasasti-prasasti berbahasa Tamil dari zaman Cola, Phandya, dan Pallawa. Perpindahan penduduk dari
India Selatan ke Indonesia disebabkan oleh :

• Karena tertarik oleh kesuburan tanah dan kekayaan alam Indonesia.
• Karena kemiskinan dan penderitaan yang timbul akibat peperangan yang banyak terjadi di India Selatan.

3. Teori Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia
Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu-Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti. Tetapi walaupun demikian para ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya agama Hindu-Budha atau kebudayaan India ke Indonesia.
Agama Budha diduga lebih dulu datang ke Indonesia daripada agama Hindu. Diperkirakan agama Budha masuk ke Indonesia pada abad 2 Masehi, disebarkan oleh misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain di Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat dari ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi. Selain itu ditemukan juga arca perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).
Untuk penyiaran Agama Hindu ke Indonesia, terdapat beberapa teori/hipotesa yaitu antara lain:

• Teori Brahmana, diutarakan oleh J. C. Vanleur. Ia berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana karena hanya kaum Brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia.
• Teori Ksatria, diutarakan oleh Prof. Dr. Ir. J.L. Moens dan F.D.K. Bosch. Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia. Sedang menurut Bosch, raja-raja India datang menyerang dan mengalahkan suku-suku I Indonesia
• Teori Waisya, diutarakan oleh Dr.N.J.Krom, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang yang datang untuk berdagang ke Indonesia, bahkan diduga ada yang menetap karena menikah dengan orang Indonesia.
• Teori Sudra, teori ini menyatakan bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kasta sudra. Alasannya mereka yang dating ke Indonesia bertujuan untuk mengubah kehidupan karena mereka hidup sebagai budak di India.
• Teori Arus Balik, menurut teori ini bangsa Indonesia yang telah mendapat ilmu
pengetahuan dari para Brahmana yang diundang oleh para bangsawan, dan pada
perkembangan selanjutnya mereka memegang peranan aktif dalam proses dan penyebaran agama serta budaya Hindu. Orang-orang Indonesia yang telah memperoleh pengetahuan dari para Brahmana yang datang ke Indonesia, kemudian berangkat ke tempat asal guru mereka untuk melakukan ziarah dan memperdalam pengetahuan mereka. Sekembalinya dari India, mereka menyebarkan agama Hindu dengan bahasa mereka sendiri, dengan demikian agama Hindu lebih cepat dan mudah tersebar di Indonesia.

Pada dasarnya teori-teori tersebut masing-masing memiliki kelemahan. Pertama golongan ksatria dan weisya tidak mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam kitab suci Weda, dan hanya para pendeta yang menguasainya. Kedua golongan Brahmana walaupun menguasai bahasa Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu yang konservatif mereka tidak boleh menyebrangi laut. Maka dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana yang
berpandangan maju, atas undangan raja dan orang Indonesia yang belajar ke India.
Lalu bagaimana orang-orang Indonesia yang pada mulanya tidak dilahirkan sebagai orang Hindu dapat memeluk agama Hindu?
Ternyata golongan elit Indonesia, khususnya kaum bangsawan, banyak yang tertarik untuk mempelajari agama dan budaya Hindu karena mereka selalu bergaul dengan para pedagang dari India. Sistem kasta dianggap akan menaikan prestise dan wibawa para bangsawan di hadapan rakyat. Para bangsawan inilah yang banyak mendatangkan para Brahmana dari India untuk mengajarkan agama Hindu di tempatnya. Di tempat tersebut kemudian mereka melakukan upacara vratyastoma yaitu upacara khusus untuk menghindukan seseorang.

B. WUJUD AKULTURASI KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA DENGAN KEBUDAYAAN
INDONESIA
Apakah Anda sebelumnya pernah mendengar atau mengetahui pengertian Akulturasi?
Banyak para ahli yang memberikan definisi tentang akulturasi, antara lain menurut pendapat Harsoyo: Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus; yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya.
Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya. Hal ini berarti kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Indonesia. Sehingga budaya tersebut berbaur dengan kebudayaan asli Indonesia, dan menghasilkan suatu kebudayaan baru. Wujud akulturasi tersebut dapat Anda simak pada uraian materi unsur-unsur budaya berikut ini:

1. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa sansekerta di dalam bahasa Indonesia. Dan bahasa Sansekerta tersebut telah memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu-Budha pada abad 5-7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi pada perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7-13 M. Sedangkan untuk aksara, dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan huruf Pallawa, tetapi kemudian huruf Pallawa tersebut juga berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa
Kuno. Demikianlah uraian tentang contoh wujud akulturasi dalam bidang bahasa.

2. Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke
Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme. anda masih ingat tentang pengertian Animisme dan Dinamisme?
Dengan masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia, maka masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Tetapi agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme. Tentu Anda ingin bertanya apa yang dimaksud dengan Sinkritisme?
Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu-Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut misalnya dapat Anda lihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.

3. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat Anda lihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun. Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harihari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).
Permerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi pada masa berlangsungnya kerajaan Majapahit, dalam hal pengangkatan Wikramawardana. Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam system kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya (golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata). Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India karena sistem kasta di India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta hanya diterapkan dalam upacara keagamaan.

4. Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M.
Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun
Saka dengan menggunakan Candrasangkala. Apakah Anda sebelumnya pernah mengetahui istilah Candrasangkala?
Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa, salah satu contohnya yaitu kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut dibaca dari belakang yang berate sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit.

5. Arsitektur
Salah satu wujud akulturasi antara kebudayaan India dengan kebudayaan Indonesia di bidang aristektur terlihat dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui
dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang
memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan.
Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan dimana bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka. Di samping itu juga dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disebut dengan Pripih.
Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
Candi jago adalah salah satu peninggalan kerajaan Singosari yang merupakan tempat dimuliakannya raja Wisnuwardhana yang memerintah tahun 1248 - 1268. Dilihat dari gambar candi tersebut, bentuk dasarnya adalah punden berundak- undak dan pada bagian bawah terdapat kaki candi yang di dalamnya terdapat sumuran candi, di mana di dalam sumuran candi tersebut tempat menyimpan pripih (lambang jasmaniah raja Wisnuwardhana).
Candi sebagai bangunan terbagi atas tiga bagian yaitu kaki candi (rupadhatu), tubuh candi (arupadhatu), dan atap candi ( kamadhatu). Pembagian ini menurut ajaran Hindu melambangkan alam semesta yang juga terdiri dari tiga tingkatan. Kaki candi melambangkan alam bawah tempat manusia biasa, tubuh candi melambangkan alam tengah tempat manusia suci yang telah meninggalkan keduniawian, dan atap candi melambangkan alam atas tempat para dewa.
Kalau kita perhatikan bangunan candi itu ada yang berdiri sendiri dan ada juga yang berkelompok. Bangunan candi yang berkelompok biasanya terdiri dari candi induk dan anak-anak candi (candi perwara). Pengelompokan candi ini erat kaitannya dengan alam pikiran dan susunan masyarakat waktu itu.
Kelompok candi candi di Jawa Tengah bagian selatan biasanya candi induk dibangun di tengah-tengah dan dikelilingi oleh candi-candi perwara. Ini melambangkan adanya pemerintahan pusat yang kuat. Sedangkan di Jawa Tengah bagian utara, kelompok bangunan candi itu tidak beraturan dan lebih merupakan gugusan-gugusan candi yang berdiri sendiri. Keadaan ini mencerminkan bahwa pemerintahan di Jawa Tengah bagian utara menganut system federal yang terdiri dari negara-negara bagian yang sederajat.
Di Jawa Timur pengolompokan candi ini berlainan dengan yang ditemukan di Jawa Tengah. Candi induk biasa dibangun di bagian belakang halaman candi, sedangkan candi-candi perwara ada di bagian depan. Ini melambangkan Negara federal yang terdiri dari negara-negara bagian yang berotonomi penuh, dan pemerintahan pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di belakang mempersatukan negara-negara bagian dalam rangka membangun suatu kesatuan. Untuk candi yang bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu untuk memuja Dyani Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa. Dilihat dari ciri-ciri bangunan candi atau langgam candi, dapat dikelompokan kedalam candi langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur.
Apabila dilihat dari pengaruh agama, bangunan candi dapat dikelompokan menjadi Candi Hindu dan Candi Budha. Candi yang termasuk candi-candi Hindu diantaranya candi Prambanan, candi Dieng dan sebagainya. Dan yang termasuk candi Budha diantaranya candi Borobudur, Candi Sewu, candi Mendut dan sebagainya.

6. Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra dan seni pentas (pertunjukan). Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar timbul). Gambar timbul pada candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha.
Relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang, hal ini menunjukkan bahwa relief tersebut mengambil kisah dalam riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula di candi-candi Hindu, relief yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran.
Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil kisah asli cerita tersebut, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
Untuk wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya suatu cerita atau kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama seperti aslinya dari India, karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda
yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala. Di samping itu
juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai suatu ceritera dalam seni pertunjukan di Indonesia, yaitu salah satunya pertunjukan Wayang.
Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Untuk itu wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon cerita dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritanya, misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya Durna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Durna sebagai tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.
Demikian penjelasan tentang wujud akulturasi dalam bidang kesenian. Dan yang perlu anda pahami dari seluruh uraian tentang wujud akulturasi tersebut bahwa unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur budaya yang dominan dalam kerangka budaya Indonesia, karena dalam proses akulturasi tersebut, Indonesia selalu bertindak selektif

*****

SEJARAH KERAJAAN SUNDA

KERAJAAN SUNDA
BY : NANDANG KOSASIH
1. Sumber-sumber sejarah
Istilah Sunda didalam sejarah Tarumanagara menunjuk pada suatu tempat yang telah ada pada jaman Maharaja Purnawarman, raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia memindahkan pusat pemerintahannya pada tahun 397 M, dari Jayasingapura, kota yang didirikan oleh kakeknya, Jayasingawarman kesuatu daerah ditepi kali Gomati. Ibukota kerajaan tersebut kemudian ia namakan Sundapura (kota Sunda).
Adapun yang menjadi sumber sejarah Kerajaan Sunda adalah :

a. Pustaka Jawadwipa
Dalam pustaka Jawadwipa disebutkan bahwa dahulu telah ada nama daerah Sunda, tetapi
menjadi bawahan Kerajaan Taruma yang bernama Sundapura. Penegasan terhadap nama lokasi tersebut ditulis pula di dalam prasasti Kebantenan (Bekasi) pada abad 15/16 M, : daerah ini disebut Sunda Sembawa (Sunda yang awal).

b. Prasati Pasir Muara
Bukti sejarah lain yang menceritakan penggunaan istilah Sunda ditemukan dalam Prasasti Pasir Muara yang dibuat pada tahun 536 M. Prasasti tersebut menceritakan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda, mungkin semacam pemberian otonomi. Pada waktu itu yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Prasasti Pasir Muara menurut Bosch, diterjemaahkan sbb :

Ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan haji sunda.

Prasasti di Pasir Muara yang ditemukan di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman, menerangkan, bahwa Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun 458 Saka (536 Masehi), pemerintahan negara dikembalikan kepada raja Sunda. Sangat masuk akan jika kisah ini diabadikan didalam Prasasti Muara, terutama ketika dikaitkan dengan peristiwa yang dimuat dalam Pustaka Jawadwipa bahwa pada masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara.

c. Prasasti Sanghyang Tapak
Nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98.
Terjemaahan Prasasti tersebut, sebagai berikut :

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

d. Naskah Kuno Bujangga Manik
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali (sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

e. Catatan Perjalanan Tom Pires
Dan Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Suma Oriental” (1513 – 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut :

“ The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part of the island and an eight more. It ends at the river chi Manuk.” (“Kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa; sebagian orang lainnya, berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Ujungnya adalah Sungai Ci Manuk).

2. Tarusbawa Pendiri Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda menurut naskah Wangsakerta didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669
masehi, menggantikan Tarumanagara yang menurun pengaruhnya, apalagi setelah Galuh
melepaskan diri. Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , bagian barat Provinsi Jawa Tengah, dan Lampung.
Sepeninggal Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman yang hanya memerintah selama tiga tahun (666-669 M), kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya yang bernama Tarusbawa (669-723). Ia dinobatkan sebagai raja pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Saat itu pengaruhTarumanagara sudah sangat menurun. Tarusbawa berkeinginan mengembalikan kejayaan Tarumanagara seperti di zaman Raja Purnawarman. Maka Pada tahun 670 ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Maharaja Tarusbawa kemudian memindahkan lokasi keraton Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati dari sekitar Rancamaya ke sebuah perbukitan di hulu Cipakancilan atas saran Bujangga Sédamanah, yang bernama Pakuan. Semenjak itu, Pakuan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda di bawah Maharaja Trarusbawa. Sebelum menggantikan Linggawarman, Tarusbawa adalah raja dari kerajaan Sunda yang merupakan salah satu kerajaan bawahan Tarumanagara.
Tarusbawa adalah suami Dewi Manasih, putri Linggawarman dari Dewi Ganggasari. Ia dianggap sebagai cikal bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

3. Keadaan Politik dan system Pemerintahan
Bagaimana kehidupan politik dan pemerintahan di Kerajaan Sunda?
Dalam naskah Carita Parahyangan digambarkan system pemerintahan Kerajaan Sunda yang berpusat di ibu kota Pakuan Pajajaran. Kekuasaan di Kerajaan Sunda Pajajaran terbagi menjadi tiga yakni prebu (eksekutif), rama (legislative, dan resi (yudikatif). Trarusbawa sendiri sebagai prebu (pemimpin roda pemerintahan pusat ) membawahi beberapa penguasa wilayah yang diangkat atas kesepakatan bersama dengan rama (tokoh masyarakat wakil rakyat) dan resi (penentu kebijakan hukum). Sistem pembagian kekuasaan seperti itu dikenal dengan sebutan tri tangtu di buana.
Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif, dalam hal ini presiden) yang harus ngagurat batu, berwatak teguh. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat lemah, berwatak menentukan hal yang mesti dipijak. Resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum agama dan darigama atau negara (yudikatif atau Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai, berwatak menyejukkan dalam peradilan.
Maharaja Trarusbawa sebagai prebu, atas kesepakatan rama dan resi mengatur persoalan yang berkaitan dengan pangwereg (ketentuan berupa hak) bagi para penguasa wilayah di kerajaan Sunda, serta pamwatan (kewajiban mempersembahkan produk potensi alam) dari penguasa wilayah ke ibu kota Pakuan setiap tahun. Produk tersebut berupa hasil pertanian dan peternakan, serta hasil industri masyarakat. Pemerintahan selanjutnya diteruskan secara bergantian mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakéyan Darmasiksa. Berkat kepemimpinannya yang bijak, beliau mampu ngertakeun urang réa (menyejahterakan kehidupan rakyat banyak). Rakéyan Darmasiksa selanjutnya bertakhta di keraton Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati di Pakuan Pajajaran.

4. Pemisahan Galuh
a. Wretikandayun Pendiri Kerajaan Galuh
Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa Galuh pertama dan dianggap sebagai pendiri Galuh.. Padahal leluhur Wretikandyun sangat setia terhadap Tarumanagara, namun karena ada perubahan nama (mungkin juga adanya pemindahan ibukota Tarumanagara ke wilayah Sundapura) berakibat ia merasa perlu melepaskan diri.
Keinginan melepaskan diri ini bukan sesuatu yang muskil untuk untuk dilaksanakan, mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena Galuh telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan Kalingga, menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.
Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa Galuh bersama kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara, dan memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga telah menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.
Permintaan untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika terjadi jaman Purnawarman. Namun berdasarkan perhitungan Tarusbawa, pasukan Tarumanagara (Kerajaan Sunda) yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.
Pada cerita berikut dikisahkan, akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Dan memecah kerajaan menjadi dua, sesuai dengan permintaan Wretikandayun. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negaranya.
Dalam tahun 670. berakhirlah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan. Disebalah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh (Parahyangan).

b. Perkembangan Kerajaan Galuh
Wretikandayun diangkat menjadi raja Galuh menggantikan ayahnya, Sang Kandiawan. Pelantikan tersebut dilakukan pada tahun 534 Saka atau 612 M, saat ia baru berumur 21 tahun.Pada masa pengangkatannya Galuh masih berada dibawah kekuasaan Tarumanagara (masa Maharaja Kertawarman, Raja ke-8). Kemudian pada tahun 670 M, Wretikandayun berhasil membawa Galuh menjadi kerajaan yang berdaulat lepas dari kekuasaan Sunda (Tarumanagara).
Wretikandayun tidak memilih pusat kegiatan pemerintahan di Kendan atau Medang Jati, sebagaimana yang dilakukan para pendahulunya, tetapi memilih suatu daerah baru yang subur, diapit dua hulu sungai, Citanduy dan Ciwulan. Saat ini dikenal dengan sebutan Karang Kamulyan, yang terletak di Cijeungjing Ciamis. Tempat tersebut kemudia ia namakan Galuh (artinya : Permata).
Pada masa Wretikandayun nyaris tidak ada petumpahan darah, baik didalam Galuh maupun dengan Negara lain. Hal ini disebabkan pengalamannya dalam memimpin Galuh yang sangat lama (612 – 702 M), iapun akhli melakukan diplomasi, bahkan ketika memerdekakan Galuh tidak setetes pun darah tertumpah. Dimasa kepemimpinan Wretikandayun Galuh dapat memerdekakan diri dari Sunda. Ia sendiri mengabdi sejak jaman Kertawarman, raja ke-8 sampai dengan jaman Linggawarman, raja ke-12).
Dalam Carita Parahyangan dijelaskan Wretikandayun berjodoh dengan Pwah Bungatak Mangalele (Manawati) dengan gelar Candraresmi. Dari pernikahannya ia memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (620M), Jantaka (622M) dan Amara (624 M). NamunWretikandayun menganggap yang layak untuk menggantikannya hanya Amara atau Mandiminyak.
Untuk meredam masalah, Wretikandayun menempatkan Sempakwaja sebagai resiguru di Galunggung, kemudian ia bergelar Danghiyang Guru. Dari perkawinan dengan Rababu melahirkan Purbasora dan Demuwan. Sedangkan Jantaka dijadikan resiguru di Denuh, dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul karena letak Denuh ada di Galuh Selatan. Ia memiliki putra yang bernama Bimaraksa, senapati Galuh yang terkenal dengan nama Ki Balangantrang.
Wretikandayun wafat pada tahun 702 M dalam usia 111 tahun dan memeritah Galuh sejak usia 21 tahun menggantika ayahnya Sang Kandiawan. Sebagai penggantinya ia mengangkat putra Mahkota, Mandimiyak, putra bungsunya.
Sebelum memerintah Galuh, Mandiminyak tinggal di Kalingga bersama-sama istrinya memerintah Kalingga. Pengalaman memerintah ini sangat membantu tugasnya kelak di Galuh, terutama dalam menyelesaikan masalah diplomatik dengan Negara lain. Ketika Wretikandayun mangkat maka Ia kembali dan tinggal di Galuh untuk menjalankan pemerintahan. Namun Parwati, istrinya masih tetep memerintah di Bumi Mataram, pecahan dari Kalingga.
Mandiminyak kemudian berupaya memperbaiki hubungan Galuh dengan Sunda yang sempat pecah ketika Galuh menyatakan memisahkan diri dari Sunda, bahkan Terusbawa, raja Sunda menyatakan ketidak setujuannya kepada penguasa Sriwijaya untuk menyerang Kalingga. Mandiminyak kemudian menjodohkan cucunya, Sanjaya putra Sena dengan Teja Kencana, cucu Terusbawa. Dari perkawinan tersebut melahirkan Tamperan (Barmawijaya).
Posisi dari perkawinan ini menempatkan Galuh sebagai kerajaan yang kuat, bahkan lebih kuat lagi ketika Sanjaya diangkat menggantikan Tarusbawa sebagai raja Sunda. Namun karena alasan pengangkatan Mandiminyak dan perilaku dimasa lalu dianggap tidak pantas, Mandiminyak tidak sepenuhnya mendapat simpati dari kerabat Galuh.
Sepeninggal Mandiminyak pada tahun 709 M Galuh diserahkan kepada Sena. Sena dianggap berbeda dengan perangai ayahnya. Ia dikenal sebagai raja taat beragama dan baik hubungannya dengan siapa saja. Dari sifatnya ini, Sena sangat dihormati oleh kaum agamawan, tetapi kerabat Galuh sangat membenci, karena Sena terlahir dari hubungan gelap antara Mandiminyak dengan Rababu istrinya Sempakwaja.

c. Pemberontakan Purbasora
Cerita yang sering hilang dari alurnya adalah adanya perebutan tahta dari para keturunan Wretikandayun, disatu pihak keturunan Mandiminyak dan disisi lain yang merasa lebih berhak terhadap tahta Galuh adalah keturunan Sempakwaja dan Jantaka.
Sekalipun Sena terkenal sebagai orang alim dan sangat dihormati para tokoh agama namun kurang mendapat sambutan dilingkungan keluarga Galuh. Masalah ini yang mempermudah Purbasora menjatuhkan Sena, sehingga pada 716 M Sena dijatuhkan dari takhtanya, akibat pemberontakan yang dipimpin Purbasora.
Pemberontakan Purbasora tersebut disebabkan :

• Pengangkatan Sena sebagai raja Galuh menggantikan Mandiminyak, oleh Purbasora dan Demuwan anak Rababu dari Sempakwaja, dinggap tidak layak. Karena Sempakwaja sebagai putra sulung yang dianggap lebih berhak. Hal ini menimbulkan kemarahan keturunan Sempakwaja.
• Hubungan gelap antara Mandiminyak dengan Rababu (istri Sempakwaja) yang melahirkan Sena, telah menimbulkan dendam di hati Purbasora dan Demuwan.

Pada saat melakukan pemberontakan, Purbasora dibantu oleh Demunawan dan Bimaraksa. Secara gagah berani Bimaraksa memimpin pasukan Bhayangkara, balabantuan dari Indraprahasta (yang terletak di Cirebon Girang). Bimaraksa dikenal pula sebagai senapati yang akhli memainkan berbagai jenis senjata dan akhli strategi perang. Mengingat peran Bimaraksa yang begitu besar dalam penggulingan Sena maka Purbasora mengangkatnya sebagai Senapati sekaligus Mahapatih Galuh.
Keberpihakan Bimaraksa dan Demunawan terhadap Purbasora memberikan legitimatasi pada gerakan pemberontakan Purbasora, bahwa sedang terjadi pemberontakan dari tiga orang keturunan Wretikandayun terhadap keturunan Wretikandayun lainnya yang dianggap tidak syah tetapi menguasai tahta Galuh.

5. Sanjaya (723-732)
Putera sulung Tarusbawa yang bernama, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda dan meninggalkan seorang anak perempuan yang bernama Nay Sekarkancana (Tejakancana). Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh. Setelah Tarusbawa meninggal, tahta kekuasaan dilanjutkan oleh Sanjaya.
Di dalam kitab Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Sanjaya adalah putra Raja Sena penguasa Galuh Pakuan. Ibunya adalah Sanaha cucu Maharani Sima penguasa Kalingga, di Jepara. Nama Sanjaya ini dikenal juga di dalam prasasti Canggal dari Jawa Tengah. Kekuasaan Raja Sena kemudian direbut oleh Prabusora, saudara seibu Raja Sena. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa.
Setelah mewarisi tahta Kerajaan Sunda, kemudian Sanjaya menyerang Prabusora dan
merebut kembali Kerajaan Galuh. Dan sejak itu Sunda dan Galuh bersatu kembali. Dan pada tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada putranya yang bernama Rahyang Tamperan atau Rahyang Panaraban. Sanjaya sendiri kemudian menjadi penguasa di Bhumi Mataram. Setelah berkuasa selama 22 tahun (732-754) di Mataram, ia digantikan oleh putranya dari Dewi Sudiwara, Rakryan Panangkaran. Dengan demikian Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kerajaan Mataram (Hindu). Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi.
Sepeninggal Rahyang Panaraban, pada tahun 739 Kerajaan Sunda yang dipersatukan oleh Sanjaya, kembali pecah menjadi Kerajaan Sunda yang diperintah oleh Raja Banga yang bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya , dan Kerajaan Galuh yang diperintah oleh Raja Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.

6. Perjanjian Galuh
Sanjaya mendengar berita kematian Tamperan, anaknya di Keraton Medang Bumi Mataram, iapun bergegas membawa pasukan besarnya menuju Galuh. Sementara bedasarkan keterangan para telik sandi Galuh diketahui adanya rombongan Sanjaya dan Manarah pun mempersiapkan pasukan Galuh untuk mennyambut Sanjaya di luar kota Galuh. Mereka pun saling berhadap-hadapan siap bitotama. Diduga, jika saja pertempuran (Gotrayudha) sesama keturunan Wretikandayun itu terjadi, diniscayakan seluruh keturunan Wretikandayun tak akan ada sisanya.
Dalam kepanikan itu muncul Resiguru Demuwan diiringi para resi lainnya dari Saung Galah. Ia langsung menuju palagan Galuh, menghampir kedua belah pihak. Resi Demuwan dengan wibawanya yang kuat ia menghentikan pertempuran itu. Kemudian ia meyakinkan tentang akan hancurnya keturunan Wretikandayun jika perang ini tidak dihentikan. Ia pun menjelaskan, bahwa Galuh dibangun oleh Wretikandayun untuk kesejahtraan anak cucunya, bukan untuk dihancurkan kembali, Alangkah sakit hati rohnya jika menyaksikan pertumpahan darah ini. Kemudian ia pun mengajak mereka yang berseteru itu untuk berunding di Galuh, ditempat nenek moyangnya dahulu melakukan perundingan.
Inti dari Perjanjian Galuh, antara lain :
1. Menyudahi permusuhan diantara yang sedang berperang dan melakukan persahabatan dan kerjasama. Tidak boleh mengadakan pembalasan, karena mereka masih satu keturunan. Bila timbul perselisihan harus diselesaikan dengan damai
2. Prajurit yang ditawan harus dilepaskan. Tidak boleh saling menyerah dan merebut kota masing-masing.
3. Menghormati ahli waris yang syah, yaitu : Negeri Sunda yang dirajai oleh Sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu kertabuana Yasawiguna Ajimulya ; Negeri Galuh dengan wilayah Citarum ketimur dirajai oleh Sang Suratoma alias Manarah dengan Gelar Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuana, Resi Demunawan membawahi Saunggalah dan bekas Galunggung, dan Sanjaya di Jawa tengah.
Untuk mengukuhkan persaudaraan itu kemudian Resi Demunawan menjodohkan cucunya yakni Kencana Wangi dengan Manarah, sedangkan Kencana Sari dengan Banga. Dengan pernbikahan ini maka berbaurlah darah Sunda, Galuh dan Saunggalah. Sekalipun semula mereka dari keturunan yang sama, yakni Wretikandayun.
Dalam perjalanan waktu selanjutnya, hubungan Sunda - Galuh nyaris tidak dapat dipisahkan, keduanya telah terjadi perkawinan keluarga. Pada tahun 852 Prabu Langlangbumi, raja Galuh keturunan Manarah wafat, namun ia tidak memiliki keturunan. Tahta Langlangbumi kemudian diserahkan kepada suami adiknya, yakni Rakeyan Wuwus, keturunan Banga. Hubungan ini berakibat Sunda - Galuh berada didalam satu kekuasaan.
Perpaduan Sunda - Galuh tidak serta merta dapat melerai semua persoalan, terutama ada perbedaan budaya masing-masing. Rakyat Kerajaan Galuh sering disebut "orang air", sehingga mitos dan cerita-cerita rakyat Galuh sering menggunakan makhluk-makhluk air. Sedang rakyat kerajaan Sunda disebut "orang gunung", sehingga mitos dan cerira rakyat Sunda sering menggunakan makhluk-makhluk gunung. Mayat orang Galuh jaman dahulu di terebkeun (dihanyutkan) atau "dilarung", sedangkan mayat orang Sunda di kurebkeun (dikubur).
Para akhli sejarah Sunda mensinyalir, hubungan dan perpaduan budaya Sunda-Galuh baru mencair pada abad ke 13, sebagaimana dengan penyebutan masyarakat Sunda untuk kedua penduduk ini. Kemudian pada abad 14 berita-berita luar sudah menggunakan istilah Sunda untuk masyarakat Sunda-Galuh. Perpaduan nama demikian terjadi secara alamiah, dimungkinkan akibat para tokoh dan daerah-daerah Sunda lebih terkenal di masa silam.
Manarah mengundurkan diri pada tahun 783 M, ia kemudian melakukan Manurajasunya (bertapa tiada kahir sampai meninggal). Kemudian wafat pada tahun 798 M, dalam usia 80 tahun. Usianya diabadikan juga didalam Cerita Parahyangan :

“Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapan puluh taun, lantaran tabeatna hade. Sang Manisri lilana jadi ratu genep puluh taun, lantaran pengkuh ngagem Sanghiang Siksa. Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun.Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun”.(Sang Manarah menjadi raja selama delapan puluh tahun, karena perilakunya baik. Sang Manisri berkuasa selama enam puluh tahun, karena setia menganut Sanghiang Siksa. Sang Tariwulan brkuasa selama tujuh tahun. Sang Welengan berkuasa selama tujuh tahun).

Pada masa Manarah banyak meninggalkan kisah dan legenda, seperti cerita Ciung Wanara dan Ki Balangantrang. Cerita dan Kisah ini sering dijadikan sumber rujukan oleh para petutur lisan, seperti untuk mengetahui batas etnis dan acuan tentang budi pekerti.

7. Sunda-Galuh Bersatu
Sejak masa Manarah berkuasa, di Galuh tidak ada gejolak yang menggoyahkan tahta Galuh. Mungkin karena sebelumnya Banga berhasil menaklukan raja-raja disekitar Citarum, kemudian melepaskan diri dari Galuh dan menjadi negara merdeka.
Memang proses permintaan Banga untuk melepaskan Sunda dari Galuh hampir menimbulkan kemarahan Manarah. Namun berkat jasa perantara Demunawan, yang mengemukakan alasan perlunya ada kesedarajatan antar keturunan Wretikandayun maka Manarah mau melepaskan Sunda sebagai Negara yang merdeka.
Manarah sebelum mengundurkan diri menyerahkan kekuasaanya kepada Manisri, suami Puspasari (salah seorang putri Manarah), karen ia tidak memiliki putra laki-laki. Manisri berkuasa sejak tahun 783 sampai dengan 799 M, bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara.
Manarah didalam cerita lisan dikenal sebagai tokoh Ciung Wanara, sedangkan Manisri dan Puspasari dikenal sebagai tokoh cerita Lutung Kasarung. Manisri dikenal dengan nama Guruminda, sedangkan Puspasari dikenal dengan sebutan Purbasari. Mungkin karena asal usul Guruminda tidak diketahui maka masyarakat tardisional dan para juru pantun menganggapnya sebagai Putra Sunan Ambu dari Kahyangan.
Manisri kemudian digantikan oleh putranya, Sang Triwulan (799 – 806 M) digantikan lagi oleh Sang Welengan (806 – 813 M) dengan gelar Prabu Brajanagara Jayabuana. Sepeninggalnya tahta Galuh diserahkan kepada Prabu Linggabumi (813 – 852 M).
Rupanya Manarah dan keturunannya sangat sulit memperoleh anak laki-laki, karena Linggabumi cicit dari Manarah, terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Rakeyan Wuwus, raja sunda keturunan Banga, suami adiknya.
Demikian pula sebaliknya, setelah Rakeyan Wuwus (keturunan Banga) wafat pada tahun 891 M digantikan oleh Prabu Darmaraksa, adik Prabu Langlangbumi dari Galuh. Darmaraksa menikahi adik Raketan Wuwus, sebaliknya Rakeyan Wuwus menikahi kakak Darmaraksa. Namun percampuran ini hanya terjadi ditingkat Raja, karena masih ada kerabat istana Sunda yang fanatik dan tidak mau jika Sunda diperintah kembali oleh Galuh. Dan pada tahun 895 M Prabu Darmaraksa dibunuh oleh seorang menteri kerabat istana Sunda.
Perbedaan tradisi Sunda dan Galuh mungkin pada waktu itu dianggap menghambat hubungan keduanya. Urang Galuh merasa kurang nyaman jika dipimpin keturunan Sunda, demikian pula sebaliknya. Upaya menyatukan pernah dilakukan melalui perpaduan atau perkawinan dikalangan para raja dan keluarganya.
Sepeninggal Raja Darmaraksa tahta Sunda – Galuh kemudian diserahkan kepada Windusakti atau Prabu Dewageung, putra Darmaraksa. Sejak saat itu kisah Galuh hampir kehilangan rekam jejak dan baru diberitakan kembali pada keturunan Sunda yang Ke – 20. Hal ini diungkapkan Pleyte (1915) dalam artikelnya tentang Sri Jaya Bupati, dalam buku “Maharaja Cri Jayabhupati Soenda’s Ouds Bekende Vorst”, yang mengulas mengenai prasasti Cibadak - Sukabumi.
Para akhli sejarah Sunda mensinyalir, hubungan dan perpaduan budaya Sunda-Galuh baru mencair pada abad ke 13, sebagaimana dengan penyebutan masyarakat Sunda untuk kedua penduduk ini. Kemudian sejak abad ke-14 sumber-sumber luar sudah menggunakan istilah Sunda untuk menyebut penduduk yang ada di wilayah Jawa Barat. Munculnya sebutan tersebut mungkin orang Sunda ketika itu dianggap lebih berperan dibandingkan orang Galuh

8. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030 - 1042 M )
Beberapa abad kemudian Kerajaan Sunda diperintah oleh Sri Jayabupati, putra Sanghyang Ageng, dan berkedudukan di Pakuan. Pada waktu itu Sriwijaya menjadi momok yang menakutkan. Untuk menghindari konflik dengan Sriwijaya, Kerajaan Sunda Galuh melakukan hubungan pernikahan antara raja ke 19, Prabu Sanghyang Ageng (Ayah dari Sri Jayabupati) dengan putri Sriwijaya. Jadi ibu Sri Jayabupati adalah seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawari.
Permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Dharmawangsa (adik Dewi Lakmi isteri Airlangga). Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya (Raja Dharmawangsa). Gelar itulah yang dicantumkannya dalam Prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan antara Sriwijaya dengan mertuanya (Dharmawangsa). Pada puncak krisis ia hanya menjadi 'penonton' dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus 'menyaksikan' Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya 'diancam' agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta disebut Pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Rakeyan Jayadarma putra Darmariksa (Raja Pajajaran ke 26) yang berkedudukan di Pakuan, menikah dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal, putri Mahisa Cemapaka dari Jawa Timur. Mahisa Campaka adalah anak Mahisa Wongateleng . Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang lahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes.
Jayadarma wafat dalam usia muda, karena ituLembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran, yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, Raden Wijaya, Raja Majapahit pertama, adalah penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda yang ke-27. Dan tahta Kerajaan Sunda ahirnya diduduki oleh Prabu Ragasuci (1297 – 1303M), adik Jayadarma.
Ketika Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333) dan Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340) berkuasa, ibukita Kerajaan Sunda-Galuh berkedudukan di Kawali. Nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Wastukancana yang tersimpan di "ASTANA GEDE" Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan).
Pada tahun 1350-1357 Kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu maharaja Linggabuanawisesa. Ia mempunyai seorang putrid bernama Dyah Pitaloka (Citraresmi) yang dipinang untuk dijadikan permaisuri oleh Hayam Wuruk dari Majapahit. Tetapi sebelum perkawinan itu terjadi, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa dan Dyah Pitaloka meninggal dalam Peristiwa Bubat (baca kembali Peristiwa Bubat). Tahta KerajaaN Pajajaran kemudian dilanjutkan oleh putranya Rahyang Niskala Wastukancana. Menurut Kitab Carita Parahayangan, pada waktu peristiwa Bubat terjadi, Wastukancana baru berusia 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit, karena itu ia selamat dari kematian.
Karena Niskala Wastukancana masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371). Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskala Wastukancana, yang kemudian memimpin Sunda selama 104 tahun (1371-1475). Raja Waktukancana mempunya dua istri yaitu Nay Ratna Sarkati dan Nay Ratna Mayangsari. Dari Nay Ratna Sarkati , ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482). Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata yang bergelar Sri Baduga Maharaja.

RAJA-RAJA DARI KERAJAAN SUNDA

No. N a m a R a j a Tahun Memerintah
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman) 669 - 723
2. Sanjaya atawa Harisdarma (menantu Tarusbawa) 723 - 732
3. Tamperan Barmawijaya 732 - 739
4. Rakeyan Banga 739 - 766
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766 - 783
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang) 783 - 795
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon 819 - 891
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus) 891 - 895
10.Windusakti Prabu Déwageng 895 - 913
11.Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi 913 - 916
12.Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading) 916 - 942
13.Atmayadarma Hariwangsa 942 - 954
14.Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading) 954 - 964
15.Munding Ganawirya 964 - 973
16.Rakeyan Wulung Gadung 973 - 989
17.Brajawisésa 989 - 1012
18.Déwa Sanghyang 1012 - 1019
19.Sanghyang Ageng 1019 - 1030
20.Sri Jayabupati (Detya Maharaja) 1030 - 1042
21.Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja) 1042 - 1065
22.Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta) 1065 - 1155
23.Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155 - 1157
24.Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja) 1157 - 1175
25.Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175 - 1297
26.Ragasuci (Sang Mokténg Taman) 1297 - 1303
27.Citraganda (Sang Mokténg Tanjung) 1303 - 1311
28.Prabu Linggadéwata 1311 - 1333
29.Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333 - 1340
30.Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340 - 1350
31.Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat) 1350 - 1357
32.Prabu Bunisora 1357 - 1371
33.Prabu Niskalawastukancana 1371 - 1475
34.Prabu Susuktunggal 1475 - 1482

9. Tragedi Bubat
a. Ringkasan Peristiwa
Peristiwa Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh Sungging Prabangkara, seniman lukis pada masa itu.
Rencana itu bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Orang Sunda masih merasa saudara dengan orang Majapahit,. Karena Raden Wijaya yang menjadi pendiri Majapahit, dianggap masih keturunan Sunda. Pernikahan demikian dianggap wajar dimasa lalu, sama seperti yang dilakukan raja-raja sebelumnya. Seperti hubungan Galuh dengan Kalingga dijaman Wretikandayun, yang menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Parwati, Putri Ratu Sima (Lihat hubungan Sunda dengan Majapahit).
Niat Prabu Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka telah direstui keluarga kerajaan, sehingga tak ada lagi masalah dengan status kedua kerajaan, kecuali untuk melangsungkan pernikahan. Selanjutnya Hayam Wuruk mengirim surat lamaran kepada Maharaja Linggabuana dan menawarkan agar upacara pernikahan dilakukan di Majapahit.
Tawaran Majapahit tentunya masih dipertimbangkan, terutama oleh Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Pertama, masalah lokasi atau tempat pernikahan. Pada waktu itu adat di Nusantara menganggap tidak lajim jika pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Kedua, diduga alasan ini merupakan jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Namun Prabu Linggabuana hanya melihat adanya rasa persaudaraan dari garis leluhurnya, sehingga ia memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit.
Rombongan kerajaan Sunda kemudian berangkat ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda. Niat gajah Mada ini untuk memenuhi Sumpah Palapa yang pernah diikrakannya. Karena hampr seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkannya, hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan maksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Rencana tersebut di sampaikan kepada Prabu Hayam Wuruk, Gajah Mada pun mendesaknya untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda. Selain diharapkan pula agar sunda mau mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana menjadi bimbang. Ia terjebak dalam dilema, antara cinta dan perlunya menunuruti saran Gajah Mada. Disisi lain, Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Peristiwa selanjutnya dikisahkan didalam Kidung Sunda, dalam bentuk Sinom, sebagai berikut :
• ‘Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
• Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vaza-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.

Sementara itu raja Sunda yang mendengar kabar tersebut tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang raja bawahan. Maka beliau memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja”.
Ketika mengetahui adanya keraguan dari pihak Majapahit, Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke tempat Patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji.
Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vaza-vazal Nusantara Majapahit. Dalam kisah tersebut diceritakan pula dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut, setelah mendengar, bahwa kedatangan mereka (sunda) dianggap hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui keunggulan Majapahit, bukan karena undangan untuk menikahkan seperti janji sebelumnya. Perselisihan tersebut ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan Sunda, dengan meninggalkan pesan, Raja Sunda akan memberi kabar dalam waktu dua hari.
Kemarahan utusan sunda dikisahkan dalam Kidung Sunda, sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa Pertengahan) :
• Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
• Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
• Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
• Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.

Dalam bahasa Sunda :
• "Hé Gajah Mada, naon maksudna anjeun gedé bacot ka kami? Kami mah rék mawa Rajaputri, sedeng anjeun kalah miharep kami mawa upeti kawas ti Nusantara. Kami mah béda. Kami urang Sunda, can kungsi éléh perang.
• Kawas nu poho baé sia baheula, nalika anjeung keur perang di wewengkon pagunungan. Perang campuh diuudag urang Jipang. Terus patih Sunda datang deui sahingga pasukan dia mundur.
• Mantri sia nu dua nu ngaranna Les jeung Beleteng dikadék nepi ka paéh. Pasukan sia bubar jeung kalabur. Aya nu labuh ka jurang sarta ti kakarait kana cucuk rungkang. Maranéhna paéh kawas lutung, owa, jeung setan, lalumengis ménta hirup.
• Ayeuna sia gedé sungut. Bau sungut sia kawas kasir, kawas tai anjing. Ayeuna kahayang sia teu sopan sarta hianat. Nuturkeun ajaran naon salian ti hayang jadi guru nu ngabohong jeung milampah rucah. Nipu jalma budi hadé. Mun paéh, roh sia bakal asup naraka!"
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar terakhir adanya rencana Gajah Mada, ia tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Kemudian raja Sunda memberikan putusan untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Sebelum Prabu Hayam Wuruk memberikan putusan, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat. Lantas ia pun mengancam Linggabuana untuk mengakui keunggulan Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.
Peristiwa dan dialog tersebut digambarkan, sebagai berikut :
• [...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sĕmbah, sira sang nataputri.
• Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahĕn tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang rajaputri.
• Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi
Dalam Bahasa Sunda :

[...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda(Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri.
• Maka ini terdengar oleh Sri Raja (Sunda) dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!”
• “Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan yang sangat kecil, terdiri dari pengawal kerajaan (Balamati) dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda.
Didalam pertempuran tersebut ada seorang perwira Sunda yang pura-pura mati. Setelah suasana agak reda lantas ia memberitahukan peristiwa terakhir itu kepada ratu dan putri Sunda di perkemahan. Selanjutnya ratu dan putri Sunda melakukan mati bela. Sedangkan istri para perwira Sunda menyongsong ke medan perang. Dihadapan jenazah suaminya merekapun melakukan mati - bela.
Peristiwa ini diabadikan didalam Kidung Sunda, dengan Pupuh II (Durma), digambarkan :

• Dua pihak geus sariaga. Utusan Majapahit dikirim ka pakémahan Sunda kalawan mawa surat nu eusina pasaratan ti Majapahit. Pihak Sunda nolak kalawan ambek sahingga perang moal bisa dicegah deui.
• Pasukan Majapahit disusun ku barisan prajurit biasa di hareup, terus tukangeunana para pangagung karaton, Gajah Mada, sarta Hayam Wuruk jeung dua pamanna pangtukangna.
• Perang campuh lumangsung, ngabalukarkeun loba pisan prajurit Majapahit nu tiwas, tapi tungtungna ampir sadaya pasukan Sunda tiwas digempur bébéakan ku pasukan Majapahit. Anepakén tiwas ku Gajah Mada, sedengkeun raja Sunda tiwas ditelasan ku bésanna sorangan, raja Kahuripan jeung Daha. Hiji-hijina nu salamet nyaéta Pitar, perwira Sunda nu pura-pura tiwas di antara pasoléngkrahna mayit prajurit Sunda. Lajeng anjeunna nepungan ratu jeung putri Sunda. Aranjeunna kalintang ngarasa sedih, lajeng nelasan manéh, sedengkeun para istri perwira Sunda arangkat ka médan perang lajeng narelasan manéh hareupeun mayit para salakina.

Menurut Berita Nusantara II/2, peristiwa tersebut terjadi pada hari selasa – Wage sdebelum tengah hari. Semua orang Sunda yang dibubat itu telah binasa. Tak ada seorangpun yang tersisa.
b. Pasca Peristiwa
Berita Nusantara II/2 mengisahkan, Prabu Hayam Wuruk tiba bersama pengiringnya dan Gajah Mada di Bubat. Kemudian ia meneliti dan memperhatikan mayat orang-orang Sunda satu demi satu. Ketika matanya tertatap sesosok mayat, ia melihat Sang Putri telah terbujur kaku, maka sangatlah luka hatinya. Ia terisak menahan tangis. Kemudian semua mayat itu dimasukan kedalam bandusa (peti mati) dan diberi tulisan yang memuat nama masing-masing. Peristiwa ini dilukiskan dengan pilu didalam Kidung Sunda, sebagai berikut :
• Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
• Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
• Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang

mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
• Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
• Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.

Alihbahasa:

• (Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
• Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
• Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin hamba masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
• Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana)
Prabu Hayam Wuruk keluar dari tenda Sang Putri. Dari kejauhan nampak berkibar dua panji, yakini panji kerajaan Majapahit dan Sunda. Ia pun menugaskan Sang Patih Gajah Mada untuk menyelenggarakan upacara kematian secara kebesaran esok harinya. Ketika semua mayat dimandi sucikan dan diperabukan, tampak ribuan penduduk dari daerah sekitarnya memenuhi lapangan, menyaksikan dengan penuh haru. Kelak di Sunda dibuat patung pribadi Sang Maharaja. Selanjutnya Hayam Wuruk memerintahkan para darmayaksa untuk menemui Bunsora dan mengirimkan surat untuk memimtakan maaf atas peristiwa Bubat. Hayam Wuruk berjanji pula, tidak akan pernah terjadi lagi Majapahit menyakiti hati orang Sunda untuk yang kedua kalinya.
Tentang Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada, memang ada kelanjutannya dalam Kidung Sunda, dalam Pupuh III (Sinom), dalam bahasa Sunda, sebagai berikut :

• Prabu Hayam Wuruk ngarasa hariwang nempo perang ieu. Anjeunna lajeng angkat ka pakémahan putri Sunda, sarta mendakan putri Sunda geus tiwas. Prabu Hayam Wuruk kacida nalangsa ku hayangna ngahiji jeung putri Sunda ieu. Satutasna ti éta, dilaksanakeun upacara pikeun ngadungakeun para arwah. Teu lila ti kajadian ieu, Hayam Wuruk mangkat ku rasa nalangsa nu kacida.
• Sanggeus anjeunna dilebukeun sarta sadaya upacara geus réngsé, paman-pamanna ngayakeun sawala. Aranjeunna nyalahkeun Gajah Mada kana kajadian ieu, sarta mutuskeun rék néwak sarta nelasan Gajah Mada. Nalika aranjeunna datang ka kapatihan, Gajah Mada geus sadar yén wancina geus datang. Gajah Mada maké sagala upakara (kalengkepan) upacara lajeng milampah yoga Samadi, sahingga anjeunna ngaleungit (moksa) ka (niskala).
• Raja Kahuripan jeung Daha, nu sarupa jeung “Siwa jeung Buda”, mulang ka nagarana
séwang-séwangan, sabab mun cicing di Majapahit teu weléh kasuat-suat ku kajadian ieu.
Versi lainnya dimuat dalam Pustaka Nusantara II/2, yakni :
• akibat peristiwa Bubat itu Prabu Hayam Wuruk sakit lama karena menyesal. Keluarga Kerajaan Majapahit seperti ayah, ibu dan adik-adik PrabuHayam Wuruk meyakini bahwa nama buruk Majapahit akibat peristiwa bubat. Yang menyebabkan Sri Rajasanagara sakit parah itu adalah prakarsa Sang Mangkubumi Gajah Mada. Mereka memutuskan bahwa sang Mangkubumi harus ditangkap. Tetapi rencana tersebut dapat diketahui sehingga ketika pasukan Bhayangkara kerajaan datang di puri Gajah Mada, sang mangkubumi telah lolos tanpa seorang pun mengetahui tempat persembunyiannya. Baru beberapa tahun kemudian setelah Prabu Hayam Wuruk mempersunting puteri raja Wengker, Ratu Ayu Kusumadewi, ia memberi ampun kepada sang Mangkubumi dan mengundangnya untuk menepati jabatannya yang semua.
Kemudian ada juga versi yang menjelaskan, bahwa akibat peristiwa Bubat ini hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (ada juga yang menyatakan moksa), pada tahun 1364 M.
• Keteguhan Janji
Hayam Wuruk memang telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak lagi menyerang Orang Sunda. Sunda pun tidak berniat menyerang Majapahit. namun sebagai antispasi dan kewaspadaan, Mangkubumi Bunisora masih belum merasa yakin atas janji yang disampaikan Hayam Wuruk. Ia tidak mau terjadi lagi peristiwa seperti Bubat. Sebagai bentuk kewaspadaan, Iapun menyiagakan angkatan perang dan angkatan lautnya. Armada Sunda ditempatkan di ujung Sunda, yaitu di kali Brebes (Cipamali) yang menjadi perbatasan Sunda dengan Majapahit. Namun Hayam Wuruk menepati janjinya dan tidak menyerang Sunda untuk yang kedua kalinya.
Tentang janji ini dibuktikan pula, ketika Prabu Hayam Wuruk hendak melakukan ekspedisi ke Sumatera, ia terlebih dahulu memberi kabar kepada Hyang Bunisora bahwa kapal-kapal Majapahit akan melewati perairan Sunda.
Pentaatan Raja-raja Sunda terhadap perjanjian ini juga diwariskan sampai pada jaman Pajajaran. Ketika itu Majapahit semasa dipimpin Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, pada tahun 1478 kalah perang dari Demak dan Girindrawardana, banyak keluarga keraton Majapahit mengungsi ketimur ke Panarukan, Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang. Gelombang pengungsia ada juga yang menuju ke barat, ke daerah Galuh dan Kawali. Rombongan yang terkahir ini di pimpin oleh Raden Baribin, mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati Galuh di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.
Namun sayangnya Dewa Niskala melanggar pantangan dengan cara menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan. Masalah hululanjar sama halnya dengan aturan di majapahit, yakni tidak boleh memperistri perempuan yang masih bertunangan, kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya. Sedangkan yang dimaksud istri larangan, yakni tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit). Hal ini sangat erat hubungannya dengan akibat Peristiwa Bubat.
Sampai akhirnya, Majapahit berkuasa kurang lebih 200 tahun, namun ia tidak bisa
menguasai Sunda. Demikian pula Sunda, dari sasakalana tidak pernah melakukan ekspansi ke Majapahit.

G. KERAJAAN PAJAJARAN (1482-1579)
1. Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521)
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (RatuJayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu guru Dewapranata.Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Susuktunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama PRABU SILIWANGI. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira" (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan RATU JAPURA (AMUK MURUGUL) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. {Tentang hal ini, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan, bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): "Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta (penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara) menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, menurut naskah Wastu kancana disebut juga PRABU WANGSISUTAH). Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?. Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar MAHARAJA (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peniggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

“ Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegus mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma". [Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka= 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan ke- mudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu di gotong. Karena bertali
atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipaka untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi)
Dalam kropak 630 disebutkan "wang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang
menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memangfaatkan trasisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakongawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut KARYABHAKTI dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga DESA PERDIKAN (desa bebas pajak). Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian: "Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa" (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama)
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.

b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat).
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh PUROHITA (pendeta tertinggi) keraton KI PURWA GALIH. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur). Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah JUNG (adakah yang tahu artinya?) dari 150 ton dan beberala LANKARAS (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang dijodohkan, yaitu:

1) Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi)
2) Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor
3) Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun
4) Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)

Perkawinan Sabrang Lor (Pangeran Yunus Abdul Kadir) dengan Ratu Ayu terjadi tahun 1511. Sebagai Senapati Sarwajala (Panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, ia untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sector-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya (Subanglarang) adalah muslimah dan ketiga anaknya (Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang dan Raja Sangara) diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing-masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar :

"The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

c. Kitab Waruga Jagat dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon, masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa GEMUH PAKUAN (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya (di sinilah nilai khusus Rancamaya).
Rancamaya terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno tetapi sayang seluruh situs tersebut sudah "dihancurkan" orang.

2. Surawisesa (1521-1535)
Sepeninggal Sri Baduga Maharaja tahta kekuasaan dilanjutkan oleh Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Pada tahun 1513 Portugis melakukan kunjungan balasan ke Pajajaran yang disertai oleh Tom Pires. Sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor). Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Kerajaan Pajajaran dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Sunda Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Karena Portugis berhasil menguasai Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara, dan Samudra Pasai. Dan dia merasa kuatir kalau Selat Sunda juga jatuh ke tangan Portugis. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Sultan Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Sebelum pasukan Faletahan tiba, di Bnten telah terjadi huru-hara yang dipimpin oleh Pangeran Hasanudin dari Cirebon. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Sunda Kalapa. Bupati Sunda Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal Brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Sunda Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa.
Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah kekuasaan Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati Banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu yang ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini zaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.

3. Ratu Dewata (1535 - 1543)
Surawisesa digantikan oleh puteranya (RATU DEWATA). Berbeda dengan Surawisesa yang
dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara Sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa Pwah Susus (hanya makan buah-buahan dan minum susu) atau menurut istilah kiwari Vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian PAJAJARAN - CIREBON masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai penguasa kerajaan ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran - Cirebon, akan tetapi hal itu dia lakukan untuk mengikuti siasat ayahnya (Susuhunan jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu, karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yususf. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Sunda Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet..
Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja) "Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kaputren (tempat isteri-isteri-nya), Kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Usaha memperteguh ibu kota (AMATEGUH KEDATWAN) sejalan dengan maksud "membuat parit" untuk memperteguh pertahanan Pakuan.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut Lemah Duwur atau Lemah Luhur (dataran tinggi). Dengan demikian, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit.
Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan Perkebunan.
Tipe lain adalah apa yang disebut Garuda Ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan
menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa Kawikuan (tempat para pendeta) yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasunya (hidup menyepi) seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca) "Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan" (Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa)
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah jaman susah).

4. Ratu Sakti (1543 - 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali. Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.

5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu) Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan meinuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak.. "Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar" (Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenaginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. Untuk menghadapi musuh-musuhnya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi Laskar Banten. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf.
Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian). Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.

6. Raga Mulya (1567 - 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu-hejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, "Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala" (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh kinanti (artinya saja) "waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi "penghianatan". Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena "tidak memperoleh kenaikan pangkat". Ia adalah saudara Ki Jongjo (seorang kepercayaan Panembahan Yusuf). Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan oleh saudaranya itu.
Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut: "Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratuaji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu
penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istanaSanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan), bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah TAHTA NOBAT yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah seorang diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa).

RAJA-RAJA KERAJAAN PAJAJARAN
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Pajajaran menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi) :


No. Nama Raja Tahun memerintah

1. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja) 1482 - 1521
2. Prabu Surawisésa 1521 - 1535
3. Prabu Déwatabuanawisésa 1535 - 1543
4. Prabu Sakti 1543 - 1551
5. Prabu Nilakéndra 1551 - 1567
6. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana 1567 - 1579

9. Sejarah Orang Sunda
Sejak abad ke 16 (pasca Pajajaran lenyap) masyarakat Sunda praktris kehilangan pusat kebudayaan, baru bangkit sebentar, sebagaimana yang dilegitimasikan kepada Geusan Ulun, namun ibarat bunga wijaya kusumah, kuncup dan sebentar mekar lalu layu kembali. Kemudian masa pun berganti, tatar suda berada dibawah Mataram, wajar jika orang Sunda sangat terpengaruh kebudayaan Jawa.
Pengaruh ini tidak hanya pada tataran kesenian, tapi juga administrasi pemerintahan dan bahasanya. Bahasa tulisan resmi menggunakan bahasa Jawa sedangkan bahasa lisan menggunakan bahasa Sunda. Tidak pula dapat dipungkiri, pengaruh budaya terhadap basa sunda masih kental mewarnai sampai saat ini, seperti adanya tingkatan (undak-unduuk) penggunaan bahasa.
Perubahan demikian ditegaskan pula oleh Widle, menurut Wilde (1829) bahasa yang dipakai ulama di Jawa Barat adalah bahasa lokal, bahkan banyak pula pemimpin lokal yang menggunakan aksara arab. Hal yang sama disampaikan oleh Edi S. Ekadjati , menurutnya (jaman itu) ditandai dengan lahirnya naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon yang dimulai pada abad ke-17.
Sejak kedatangannya pada abad ke-17 ke Hindia Belanda, orang Belanda sangat sedikit yang mengetahui jika Sunda memiliki Budaya sendiri. Paradigma semacam ini berlanjut hingga pada abad ke 19. Sebelumnya pada tahun 1811-1816, Raffles, Gubernur Inggris di Jawa mendorong untuk melakukan penelitian tentang sejarah dan kebudayaan lokal. Dalam buku History of Java, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri, bahkan menyatakan bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa. Dan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai bahasa Jawa Gunung dibagian barat.
Sejarah orang Sunda konon kabarnya masih terserak di luar negeri. Seperti prasasti dari Gunung Puntang yang belum dikembalikan. Ditambah lagi kisah perjalanan Bujangga Manik, dokumennya masih disimpan di museum Amerika. Kesadaran untuk memiliki budaya perlu ada, namun tentunya perlu ada upaya dan keyakinan, agar apa yang didapatkannya benar dan bukan imitasi.

*****